Haram Berzikir dengan Tasbih
Haram Berzikir dengan Tasbih

Haram Berzikir dengan Tasbih, Benarkah?

Biji tasbih atau sering disebut ‘tasbih’ saja, tentu sangat akrab bagi kita. Pasalnya, alat ini tidak hanya digunakan oleh umat Islam dalam menjalankan zikir, melainkan juga umat beragama lain seperti Budha dan Nasarani. Meski begitu, ada sebagian umat Islam yang menolak hal itu, menganggapnya sebagai bid’ah bahkan haram.

Biji tasbih sendiri dalam bahasa Arab dikenal dengan nama subḥah atau misbaḥah, yang berarti alat untuk bertasbih. Belum terdapat informasi yang jelas mengenai kapan penggunaan alat tersebut dimulai. Namun, menurut Syekh Bakr bin Abdillah dalam Al-Mausū’at al-‘Arabbiyah al-Muyassrah (23/147), sudah dikenal sejak zaman pra-Islam.

Berkaitan dengan status penggunaan tasbih dalam berzikir, ada perbedaan pendapat di antara ulama’ mengenai hal itu. Menurut sebagian pendapat hal itu tidak diperbolehkan. Pendapat ini didasarkan atas riwayat Abdullah bin Umar bin ‘Ash. Abdullah bin ‘Umar berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِه

“Saya melihat rasulullah S.A.W. menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah berkata: “dengan tangan kanannya”. (HR. Abu Dawud, no. 1502)

Meski begitu, ada ulama’ yang menyatakan bahwa penggunaan biji tasbih termasuk sunnah dan disyari’atkan. Hal ini merujuk pada beberapa hadits, di antaranya hadits dari istri Nabi, Shafiyyah bint Huyai, tentang penggunaan biji kurma sebagai tasbih.

عَنْ كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ قَال سَمِعْتُ صَفِيَّةَ تَقُولُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا فَقَالَ لَقَدْ سَبَّحْتِ بِهَذِهِ أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ فَقُلْتُ بَلَى عَلِّمْنِي فَقَالَ قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ

“Dari Kinanah hamba Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata: Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian kurma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah bertasbih dengan ini.” Rasulullah bersabda,”Maukah aku ajari engkau (dengan) yang lebih baik daripada yang engkau pakai bertasbih?” Saya menjawab,”Ajarilah aku,” maka Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah: Subḥānallah ‘adada khalqihi”. (HR. Tirmidzi).

Menurut sebagaian ulama’, hadits  di atas dla’if (lemah). Namun bukan berarti tidak  boleh diamalkan sama sekali. Ada beberapa ulama yang memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dla’if, di antaranya adalah Abu Dawud. Dalam An-Nuḥāt ‘ala Ibnu Shalāḥ,  Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan tentang metode periwayatan hadits Abu Dawud.

Menurutnya Ibnu Hajar, Abu Dawud dalam kitab As-Sunan membagi derajat hadits menjadi beberapa tingkatan, yakni: ṣaḥīḥ, Ḥasan li ẓātihi, Ḥasan li ghairihi, dan ḍa’īf (dla’if). Semua itu boleh dijadikan hujjah (argumentasi), karena mengamalkan hadits dla’if lebih utama daripada mengamalkan pendapat pribadi seseorang.

Lebih lanjut, Ibnu Hajar menyatakan bahwa mengamalkan hadits dla’if merupakan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal  (An-Nuḥāt ‘ala Ibnu Shalāḥ, Juz 1/354). Dengan begitu, menggunakan tasbih dalam berdzikir sebenarnya adalah sesuatu yang diperbolehkan.

Tidak hanya itu, penggunaan tasbih dalam berdzikir juga disetujui oleh Syekh Muhammad ‘Ali bin Husain Al-Makkiy, bahkan menurutnya hal itu sunnah.   Dalam kitab Inārah al-Dujā (h.234), ia menyatakan bahwa penggunakan tasbih adalah sunnah, karenadefinisi sunnah itu sendiriadalahsesuatu yang ditetapkan melalui sabda, perbuatan atau ketetapan (taqrīr) dari Nabi SAW. Sedangkan tasbih merupakan salah satu hal legal atas dasar taqrīr Nabi.

Terkait hal itu, Syekh Muhammad ‘Ali bin Husain merujuk pada hadits riwayat Abu Dawud dari ‘Aisyah binti Sa’ad bin Abi Waqqash dari ayahnya. Ia (ayah Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah mendatangi seorang perempyan. Saat itu, perempuan itu memegang biji kurma atau kerikil yang ia gunakan untuk bertasbih. Lalu Rasulullah bersabda:

أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ. فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ السَّمَاءِ. سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِيْ الأَرْضِ. سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْن ذَالِكَ. سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقْ. والله أَكْبَرْ مِثْلُ ذَالِكَ. والْحَمْد لِلهِ مِثْلُ ذَالِكَ. ولَآ إِلَهَ إِلا اللَّهُ مِثْلُ ذَالِكَ. وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ مِثْلُ ذَالِكَ.

Kuberitahu enggkau sesuatu yang lebih mudah atau lebih utama bagimu daripada ini. Nabi kemudian mengucapkan “Subḥānallah ‘adada mā Khalaqa fī al-samā’,  Subḥānallah ‘adada mā khalaqa fī al-arḍ, Subḥānallah ‘adada mā Khalaqa baina ẓālik, Subḥānallah ‘adada mā huwa khāliq, Wallāhu akbar mitslu ẓālik,Wa lā ilāha illallāh mitslu ẓālik, Wa lā haula wa lā quwwata illa billāh mitslu dzālik”.

‘Ali Al-Fariy dalam kitabAl-Murāqah berkata: “Hadits ini merupakan asal (dasar) yang sahih tentang ketepatan (taqrir) dari Nabi atas diperbolehkannya apa yang diperbuat perempuan tersebut. Tidak ada bedanya antara kalimat (zikir) yang di-nadzam-kan (dilagukan) atau di-natsar-kan (tidak dilagukan), serta tidaklah diperhitunggkan pendapat orang yang  mengatakan bahwa hal itu bid’ah.”

Senada dengan itu, As-Suyuthiy dalam kitab Al-Minḥah fī al-Subḥah berpendapat bahwa penggunaan biji tasbih dalam berzikir diperbolehkan. Menurutnya, sama sekali tidak ditemukan informasi, baik dari ulama salaf maupun khalaf, tentang larangan menghitung zikir dengan tasbih. Bahkan mayoritas ulama’ menggunakannya dan tidak ada yang mengatakannya makruh. 

Dari sini dapat dipahami bahwa penggunaan biji tasbih dalam berzikir tidak dikatakan makruh, terlebih haram.  Meski terdapat selisih pendapat, namun ada pendapat yang memperbolehkan penggunaan tasbih dalam berdzikir, bahkan dianggap sunnah. Karena itulah, tidak semestinya perdebatan mengenai hal ini dijadikan aslan untuk mencibir praktik ibadah orang lain.

Perlu dipahami bahwa sebenarnya tasbih adalah salah satu alat bantu untuk berzikir. Apapun bentuknya tidaklah menjadi persoalan. Selain itu, juga tidak ditemukan hadits atau dalil lain yang melarang pengguannya.Wallahua’lam.

Bagikan Artikel ini:

About Heru Setiawan

Staff Departemen Manuskrip dan Turats, IJIR-IAIN Tulungagung

Check Also

idul adha

Tafsir QS. Al-Kautsar Ayat 1-2: Renungan Kurban dan Shalat Idul Adha

Bulan Dzulhijah segera datang. Artinya umat muslim di belahan dunia manapun akan segera merayakan Idul …

Muhammad bin Abdul Wahab

Muhammad bin Abdul Wahab Tak Mengingkari Tawasul, Kemana Sekte Wahabi Berkiblat?

Muhammad bin Abdul Wahab ditanya mengenai pendapatnya yang berbunyi tidak apa-apa Tawasul dengan para orang shalih dan bahwa sesungguhnya tidak diperbolehkan memohon pertolongan kepada makhluk.