shalat tasbih
shalat tasbih

Fikih Shalat Sunah (6): Shalat Tasbih Media Penghapus Dosa

Manusia adalah makhluk yang sempurna dari sudut pandang penciptaan. Tak ada duanya yang mengungguli kesempurnaan manusia dalam aspek tata letak dan bentuk setiap organ dan anggota tubuhnya. Sangat luar biasa persembahan dari Zat Yang Mahaluar biasa ini dalam men-designe makhluk yang bernama manusia. Namun, di balik kesempurnaannya, manusia begitu lemah. Terbatas dalam bertindak, terbatas dalam berpikir, terbatas dalam menjangkau, serta terbatas dalam mengingat. Karena sifat lupa yang melekat dalam diri manusia itulah, ia disebut dengan nama manusia. Summiya al-insan li nisyanih, dinamakan manusia karena sering lupa.

Berawal dari lupa lalu berlanjut menjadi lalai. Pada situasi dan kondisi lalai kemudian manusia sering kali melakukan hal-hal yang melanggar aturan agama, melupakan Tuhannya, bertindak durhaka, sehingga ia terjerumus pada perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa. Maksiat dan dosa inilah yang akan menjadi penghalang relasi rohani antara manusia dengan Tuhannya.

Agama harus menyediakan berbagai cara agar dosa-dosa yang telah diperbuat manusia dapat dinetralisir kembali, agar hubungan rohani menjadi normal kembali. Selain melakukan taubat secara khusus, hampir di setiap ibadah wajib, selain mendapat pahala terselip balasan ampunan dosa. Semisal puasa Ramadan yang dilakukan atas dasar iman dan ikhlas karena Allah, akan mendapat ampunan dosa yang telah lalu.

Di antara media penghapus dosa adalah shalat tasbih. Dinamakan shalat tasbih dikarenakan terdapat bacaan tasbih dalam jumlah yang relatif banyak, yaitu dengan jumlah total 300 kali. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Arab Saudi: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2000), III/2801).

Dalil Kesunahan Shalat Tasbih

Mayoritas kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mencantumkan shalat tasbih dalam pembahasan bab shalat sunah di kitab fikih mereka. Mereka juga menyatakan bahwa shalat tasbih hukumnya sunah. Bahkan, dalam kitab, Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar dinyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tasbih dianggap orang yang meremehkan agama. Imam Ghazali menganjurkan shalat tasbih dilakukan satu kali dalam seminggu. Bahkan, Syekh Abu Thalib al-Makkiy menganjurkan dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu pada malam jumat dan hari jumat. Abu Thalib menceritakan bahwa orang-orang shalih terdahulu melaksanakan shalat tasbih dan merasakan keberkahannya serta saling mengingatkan tentang kebesaran fadilahnya. (Muhammad Amin bin Umar Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar (Mekah: Dar Alam al-Kutub, tt.), II/471., Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, I/207., Abu Thalib al-Makkiy, Qut al-Qulub, I/58., ).

Betapa pentingnya shalat tasbih ini, hingga Rasulullah memberikan opsi terakhir minimalnya pernah melakukan satu kali saja selama masa hidup manusia. Anjuran tersebut terekam dalam bentuk nasihat kepada pamannya Abbas bin Abdul Mutthalib, yang juga dijadikan dasar kesunahan shalat tasbih ini:

يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعْطِيكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّىَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِى سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً

Artinya: “Wahai Abbas, wahai pamanku, sukakah paman, aku beri, aku karuniai, aku beri hadiah istimewa, aku ajari sepuluh macam kebaikan yang dapat menghapus sepuluh macam dosa? Jika paman mengerjakan hal itu, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa paman, baik yang awal dan yang akhir, baik yang telah lalu atau yang akan datang, yang di sengaja ataupun tidak, yang kecil maupun yang besar, yang samar-samar maupun yang terang-terangan.

Sepuluh macam kebaikan itu ialah; Paman mengerjakan shalat empat rakaat, dan setiap rakaat membaca Al Fatihah dan surat, apabila selesai membaca itu, dalam rakaat pertama dan masih berdiri, bacalah; “Subhanallah wal hamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Mahabesar)” sebanyak 15 kali, lalu rukuk, dan dalam rukuk membaca bacaan seperti itu sebanyak 10 kali, kemudian mengangkat kepala dari rukuk (i’tidal) juga membaca seperti itu sebanyak 10 kali, lalu sujud juga membaca 10 kali, setelah itu mengangkat kepala dari sujud (duduk di antara dua sujud) juga membaca 10 kali, lalu sujud juga membaca 10 kali, kemudian mengangkat kepala dan membaca 10 kali, jumlahnya ada tujuh 75 kali dalam setiap rakaat, paman dapat melakukannya dalam empat rakaat. Jika paman sanggup mengerjakannya sekali dalam sehari, kerjakanlah. Jika tidak mampu, kerjakanlah setiap Jumat, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap bulan sekali, jika tidak mampu, kerjakanlah setiap tahun sekali. Dan jika masih tidak mampu, kerjakanlah sekali dalam seumur hidup.” (Sunan Abu Daud, No. 1299).

Di samping menjadi dasar kesunahan, hadis ini juga menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan shalat tasbih secara detail.

Jumlah Rakaat Shalat Tasbih

Semua ulama sepakat bahwa jumlah shalat tasbih adalah empat rakaat. Tidak ada yang berbeda pendapat soal jumlah rakaat ini. Hal itu dikarenakan tata cara shalat tasbih yang unik, tidak sama dengan bacaan shalat pada umumnya. Akumulasi total bacaan tasbih berjumlah 300 kali yang dibagi dalam empat rakaat dengan masing-masing rakaat sebanyak 75 kali bacaan tasbih.

Meskipun dalam penempatan bacaan tasbih terdapat dua riwayat. Cara yang pertama sebagaimana dijelaskan dalam riwayat hadis di atas. Yaitu, bacaan tasbih (subhanallah), hamdalah (wal hamdulillah), tahlil (wa la ilaha illallahu), dan takbir (wallahu akbar) pada saat berdiri (qiyam) sebanyak 15 kali, dan setelah sujud kedua sebelum berdiri menuju rakaat berikutnya (duduk istirahat) dibaca 10 kali.

Sedangkan cara yang kedua, yaitu bacaan tasbih, hamdalah, tahlil, dan takbir ketika berdiri berjumlah 25 kali, sebelum membaca Al-Fatihah sebanyak 15 kali, dan setelah membaca surat, sebelum rukuk dibaca sebanyak 10 kali. Sementara setelah sujud kedua, sebelum berdiri tidak diisi bacaan tersebut. Perbedaan cara pertama dan kedua terletak pada penempatan bacaan ketika berdiri dan setelah sujud kedua. Selain dua tempat tersebut tidak ada perbedaan, yaitu ketika rukuk 10 kali, i’tidal 10 kali, sujud pertama 10 kali, duduk di antara dua sujud 10 kali, sujud kedua 10 kali. Cara yang kedua ini yang lebih disukai oleh Sykeh Abu Thalib al-Makkiy berdasarkan opsi yang dipilih Abdullah bin al-Mubarak, salah seorang ashab, murid/pengikut Imam Abu Hanifah.

Tidak ada waktu khusus untuk shalat tasbih. Namun, jika dilakukan seminggu sekali sunah dilakukan pada hari jumat, baik siang ataupun malam. Selain itu, jika dilakukan pada siang hari maka dianjurkan langsung empat rakaat satu salam, tetapi jika dilaksanakan pada malam hari maka dengan formasi dua rakaat satu salam. (Abu Thalib al-Makkiy, Qut al-Qulub, I/58., Muhammad Zuhaili, al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. III, 2011), I/383., Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet II, 1985), II/49).

Doa iftitah (pembuka sebelum Al-Fatihah) yang dianjurkan untuk dibaca, berdasarkan sebuah riwayat dari Abdullah bin al-Mubarak adalah:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.

(Sunan At-Turmudzi, No. 483)

Niat Shalat Tasbih

Formasi dua rakaat:

أُصَلِّيْ سُنَّةَالتَّسْبِيْحِ رَكْعَتَيْنِ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى.

(Ushalli sunnatat tasbihi rak’ataini ada’an lillahi ta’ala)

Formasi empat rakaat:

أُصَلِّيْ سُنَّةَالتَّسْبِيْحِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى

(Ushalli sunnatat tasbihi arba’a raka’atin ada’an lillahi ta’ala)

Wallahu a’lam Bisshawab!      

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …