tahiyyatal masjid
tahiyyatal masjid

Fikih Shalat Sunah (4): Shalat Menghormati Masjid

Salah satu unsur penting dalam institusi agama adalah tempat ibadah. Tempat ibadah menjadi simbol agama yang sangat urgen. Masjid merupakan tempat ibadah bagi umat Islam, sehingga keberadaan masjid menjadi simbol yang sangat diagungkan dan dikeramatkan.

Dari segi penamaan, masjid berarti tempat sujud, karena kegiatan inti yang diselenggarakan dalam masjid adalah shalat yang di dalamnya terkandung sujud. Sujud merupakan simbol penghambaan tertinggi kepada Sang Khalik, sehingga masjid disebut juga sebagai ‘rumah Tuhan’.

Oleh karena itu, Islam mengatur sedemikian rupa tata cara dan adab masuk masjid sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap rumah yang satu ini. Mulai dari masuk dengan menggunakan kaki kanan, doa ketika masuk, dan shalat sunah sebagai penghormatan yang dikenal dengan shalat sunah tahiyyatal masjid.

Kesunahan Shalat Tahiyyatal Masjid

Mayoritas ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa shalat tahiyyatal masjid hukumnya sunah. Namun, menurut Ibnu ‘Asyir dari kalangan ulama Malikiyah berpendapat shalat tahiyyatal masjid adalah sunah muakadah (sangat dianjurkan). Status sunah muakadah ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Qatadah:

أَعْطُوا الْمَسَاجِد حَقّهَا ، قِيلَ لَهُ : وَمَا حَقُّهَا ؟ قَالَ رَكْعَتَيْنِ قَبْل أَنْ تَجْلِسَ.

Artinya: “Berikanlah hak masjid! Ditanyakan kepada beliau: Apa hak masjid? Nabi menjawab, dua rakaat sebelum engkau duduk.” (Shahih Ibnu Khuzaimah, No. 1721).

Sebab yang melatar belakangi kemunculan hadis ini (sababul wurud) bahwa suatu ketika Abu Qatadah memasuki masjid dan menjumpai Rasulullah sedang duduk di antara para sahabatnya, kemudian ia duduk bergabung dengan mereka. Lalu Rasulullah menegurnya: “Apa yang menghalangimu untuk shalat? Karena aku melihat engkau duduk begitu pula para sahabat yang lain” Kemudian Nabi bersabda: kalau masuk masjid jangan duduk dulu sebelum melaksanakan shalat dua rakaat.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Arab Saudi: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2000), I/491).

Kesunahan melaksanakan shalat tahiyyatal masjid harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: pertama, masuk masjid di selain waktu yang dilarang melakukan shalat sunah, seperti setelah shalat subuh dan asar, saat beduk (posisi matahari di atas kepala). Kecuali mazhab Syafii yang membolehkan secara bebas kapan saja masuk masjid tetap sunah melaksanakan tahiyyatal masjid tanpa dikaitkan dengan waktu terlarang. Kemudian saat mau masuk masjid tidak disyaratkan harus berniat untuk diam atau duduk dalam masjid. Artinya, meskipun hanya menyeberang dan numpang lewat tetap disunahkan shalat. Namun, menurut mazhab Maliki bagi mereka yang tidak ada niatan untuk diam, tidak disunahkan melaksanakan shalat tahiyyatal masjid. (Syamsudin Syekh Muhammad al-Dasuqi, Hasyiyah al-Dasuqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt.), I/313)

Kedua, saat masuk masjid dalam kondisi suci dari hadas. Dengan begitu, jika masuk masjid dalam kondisi hadas maka tidak ada tuntutan untuk shalat tahiyyatal masjid. Hal ini berbeda dengan mazhab Syafii yang mengatakan tetap disunahkan shalat jika memungkinkan dan tidak sulit untuk bersuci.

Ketiga, ketika masuk masjid, imam belum memulai shalat jemaah, atau minimal muazin belum ikamah untuk shalat jemaah. Jika kondisi demikian, maka tidak sunah lagi melakukan shalat tahiyyatal masjid. Sedangkan ketika khutbah sedang berlangsung, baik khutbah jumat atau khutbah hari raya, menurut golongan Hanfiyah dan Malikiyah tidak lagi disunahkan shalat tahiyyatal masjid, sementara menurut Syafiiyah dan Hanabilah tetap disunahkan, namun dilakukan dengan cara singkat dan hanya dua rakaat saja, tidak boleh lebih. (Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, Cet. II, 2003), I/303).    

Jumlah Rakaat Shalat Tahiyyatal Masjid

Semua ulama sepakat bahwa jumlah shalat tahiyyatal masjid sebanyak dua rakaat, sebagaimana disitir dalam hadis. Akan tetapi, bolehkah melebihi dua rakaat? Menanggapi hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafiyah maksimal empat rakaat, tidak boleh lebih. Bahkan, empat rakaat ini yang lebih utama dalam shalat tahiyyatal masjid.

Sedangkan menurut golongan Malikiyah hanya terbatas dua rakaat saja tidak boleh lebih sesuai yang tertera dalam hadis. Sementra menurut kelompok Syafiiyah boleh melebihi dua rakaat sesuka hati dengan satu salam. Jika dipisah setiap dua rakaat satu salam, maka selebihnya dari dua rakaat menjadi sunah mutlak. (Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, Cet. II, 2003), I/302., Muhammad Zuhaili, al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. III, 2011), I/378., Muhammad Amin bin Umar Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar (Mekah: Dar Alam al-Kutub, tt.), II/458).

Semua ulama sepakat bahwa shalat sunah tahiyyatal masjid dapat digantikan dengan melakukan shalat apa saja ketika masuk masjid, dengan catatan shalat tersebut terdapat rukuk dan sujud, meskipun tanpa niat shalat tahiyyatal masjid. Jika diniati shalat tahiyyatal masjid bersama shalat lain yang sedang dilakukan, maka akan tercapai keduanya. (Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, Cet. II, 2003), I/302).

Bagi siapapun yang tidak memungkinkan melakukan shalat tahiyyatal masjid semisal karena hadas, atau sibuk dengan aktifitas lain, maka disunahkan membaca bacaan berikut sebanyak empat kali:

سُبْحَانَ اللهِ وَاْلَحمْدُ لِلهِ وَلَا اِلهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.  

Surat yang sunah dibaca pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah adalah surat Al-Kafirun [109], dan pada rakaat kedua adalah surat Al-Ikhlas [112]. (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati, Hasyiyah I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiy, tt), I/257., Muhammad Zuhaili, al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. III, 2011), I/378).

Niat Shalat Tahiyyatal Masjid

أُصَلِّيْ سُنَّةَ تَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ رَكْعَتَيْنِ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى.

Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …