shalat dhuha
shalat dhuha

Fikih Shalat Sunah (3): Benarkah Shalat Dhuha adalah Shalat Ekonomi?

Terdapat rumor dan anggapan dalam masyarakat bahwa shalat Dhuha merupakan shalat yang berfungsi untuk mendatangkan kemurahan rejeki. Bahkan ada yang memberinya label dengan sebutan ‘shalat ekonomi’. Sehingga, mereka berkesimpulan orang yang istikamah dan rajin shalat Dhuha akan mendapatkan kekayaan ekonomi dalam hidupnya. Lalu bagaimana sebenarnya fadilah shalat Dhuha? Benarkah shalat sunah ini dapat menjadikan pelakunya sebagai orang kaya? Adakah rahasia di balik shalat sunah ini?

Sejatinya, shalat apapun bentuknya, baik fardu ataupun sunah, merupakan media komunikasi dan ruang berdialog dengan Sang Pencipta. Penempatan waktu dalam shalat maktubah memiliki rahasia tersendiri seiring sifat manusia yang tak mungkin lepas dari ruang dan waktu. Di penghujung waktu menjelang pergantian malam menjadi siang ditempatkanlah shalat Subuh.

Di saat manusia terjaga dari istirahat malamnya, di mana tak seorangpun dapat menjamin akan keselamatan jiwanya dari berbagai macam yang mungkin dapat terjadi pada saat ia terlelap. Shalat subuh mengawali aktifitas paginya sebagai bentuk rasa syukur yang tak terhingga atas nikmat dibangunkannya kembali dari lelap tidurnya.

Di saat pagi menyapa manusia harus berusaha bertebaran di muka bumi demi mengais rejeki, selang enam sampai tujuh jam istirahat sejenak untuk kembali menjalin komunikasi dengan Rabb-nya sebagai bentuk rasa syukur atas sebagian nikmat yang telah berhasil diraihnya. Di waktu inilah shalat Zuhur diletakkan. Pasca shalat Zuhur aktifitas berlanjut hingga datang waktu shalat Asar.

Shalat Asar merupakan media komunikasi yang menjembatani rasa syukur seorang hamba atas rejeki yang didapat pada hari itu. Di penghujung waktu pergantian siang menjadi malam, komunikasi tersebut harus dibangun kembali sebagai bentuk rasa syukur telah melewati hari ini dengan penuh ketaatan dan mengais rejeki halal sesuai garis syariat-Nya. Di waktu inilah shalat Magrib ditegakkan.

Setelah itu, saatnya menikmati santapan malam dan rehat sejenak hingga datang waktu shalat Isya’. Lalu ditunaikanlah shalat Isya’ sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat sehat sepanjang hari dan rejeki yang telah terserap masuk ke dalam tubuh. (Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet II, 2003), I/80-81).

Jika diperhatikan dengan seksama rentang waktu antara shalat Subuh dengan shalat Zuhur relatif lama. Di sela-sela waktu tersebut kemudian disyariatkan shalat sunah Dhuha agar manusia selalu ingat, tidak melupakan Sang Pencipta dan Pemberi Rejeki. Di saat manusia mulai beraktifitas di pagi hari hingga menjelang siang, shalat Dhuha menjadi pengikat agar segala aktifitas yang berlangsung tetap berada dalam bingkai rida-Nya dan seiring tuntunan syariat-Nya.

Dalil Fadilah Shalat Dhuha

Terlepas dari shalat Dhuha sebagai media menjalin komunikasi dan bentuk penghambaan, memang terdapat beberapa hadis yang menyebutkan tentang fadilat shalat Dhuha. Antara lain hadis riwayat At-Tirmidzi, siapa saja yang menjaga shalat Dhuha, akan diampuni dosa-dosanya, meskipun sebanyak buih di lautan. Hadis riwayat Imam Baihaqi, siapa pun yang shalat Dhuha dua rakaat, ia tidak tergolong orang-orang yang lupa/lalai. Orang yang mengerjakan empat rakaat, ia dicatat sebagai golongan orang-orang yang berbuat baik. Orang yang mengerjakan enam rakaat, ia dicatat sebagai orang yang ahli ibadah. Orang yang mengerjakan delapan rakaat, ia dicatat sebagai orang yang beruntung. Orang yang mengerjakan 10 rakaat, dosa-dosanya pada hari itu akan dihapus. Dan siapa pun yang mengerjakan 12 rakaat, Allah akan membangun sebuah rumah di surga.

Di samping dua hadis di atas, masih banyak hadis lain dengan berbagai varian shahih dan dhaifnya. Namun, dari berbagai hadis yang berbicara seputar shalat Dhuha ada satu hadis yang terindikasi menjadi dasar bahwa shalat Dhuha merupakan shalat yang mendatangkan kemurahan rejeki. Hadis ini terdapat di beberapa kitab induk hadis, seperti Sunan Abi Daud, At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, Al-Darimi, dengan sedikit perbedaan redaksi. Hadis yang tergolong hadis qudsi ini berbunyi sebagai berikut:

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تُعْجِزْنِى مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فِى أَوَّلِ نَهَارِكَ أَكْفِكَ آخِرَهُ

Artinya: “Allah Azza wa Jalla berfirman: Wahai anak Adam! Jangan melewatkan-Ku dari shalat empat rakaat di awal harimu, maka akan Aku cukupkan (rejeki) untukmu hingga akhir harimu” (Sunan Abi Daud, No. 1291).

Hadis ini memberikan pemahaman bahwa siapa pun yang tidak melewatkan awal hari (waktu Dhuha) dengan melaksanakan shalat empat rakaat, maka Allah akan menjamin kecukupan rejekinya sepanjang hari itu. Selain itu, terdapat hadis shahih riwayat muslim sebagai berikut:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى.

Artinya: “Di setiap pagi hari ada kewajiban bagi setiap orang di antara kalian untuk bersedekah atas setiap persendian yang ada di tubuh. Setiap satu bacaan tasbih adalah sedekah, setiap satu bacaan tahmid adalah sedekah, setiap satu bacaan tahlil adalah sedekah, setiap satu bacaan takbir adalah sedekah, setiap ajakan kepada kebaikan adalah sedekah, dan melarang dari kemungkaran adalah sedekah, dan cukup untuk semua sedekah-sedekah tersebut (diganti dengan) dua rakaat yang dilakukan ketika shalat Dhuha.” (Shahih Muslim, No. 1704).

Hadis ini menunjukkan pengertian bahwa shalat Dhuha dua rakaat menggantikan kewajiban sedekah setiap persendian yang ada dalam tubuh manusia. Dalam sebuah hadis riwayat Aisyah dijelaskan bahwa dalam tubuh manusia terdapat 360 persendian, sebagaimana hitungan hari dalam satu tahun. (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt.), III/529).

Begitu agungnya nilai dua rakaat shalat Dhuha tersebut. Ia dapat mewakili kewajiban bersedekah setiap persendian yang ada dalam tubuh. Artinya, shalat Dhuha merupakan sebuah bentuk mensyukuri setiap persendian yang terdapat dalam tubuh manusia. Jika demikian adanya, sesuai janji Allah, barang siapa yang bersyukur atas nikmat yang diberikan, niscaya Allah akan menambahkan nikmat yang lebih melimpah.

Ala kulli hal, sepantasnya orang yang melaksanakan shalat Dhuha sebagai bentuk rasa syukur setiap persendian yang berjumlah 360 mendapatkan balasan jaminan kecukupan rejeki dari Sang Pemilik Sendi. Akan tetapi, jangan lupa bahwa tujuan sejati ibadah shalat adalah bentuk penghambaan kepada Sang Khalik. Sementara soal imbalan apapun yang didapat bukanlah tujuan utama. Imbalan dan balasan adalah sebuah konsekuensi yang tak perlu dipikirkan dan dirisaukan oleh seorang penyembah sejati.[]

Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …