shalat dhuha
shalat sunnah

Fikih Shalat Sunah (2): Kesunahan dan Tata Cara Shalat Dhuha

Dalam pembagian shalat sunah (nawafil), shalat Dhuha termasuk bagian dari shalat sunah ratibah yang terikat dengan waktu. Waktu shalat ini dimulai sejak matahari naik sekitar ukuran satu tombak dalam pandangan mata telanjang hingga masuk waktu shalat Zuhur, yaitu saat matahari tergelincir ke arah barat.

Ukuran matahari naik sekitar satu tombak jika dikonversi menjadi jam, kurang lebih berjarak sekitar 30 menit setelah matahari terbit. Waktu ini pula yang menjadi titik awal dibolehkannya melakukan shalat sunah setelah sebelumnya dilarang karena termasuk waktu yang diharamkan pasca shalat Subuh.

Sedangkan waktu terbaik (al-mukhtar) untuk melaksanakan shalat Dhuha, menurut para ulama mazhab, adalah ketika telah melewati seperempat hari. Dalam artian, jika dikalkulasi rata-rata satu hari berdurasi 12 jam, maka waktu terbaik adalah tiga jam setelah matahari terbit. Sebagaimana shalat sunah pada umumnya, shalat Dhuha juga sunah dilaksanakan dengan formasi dua rakaat-dua rakaat, namun jika dikerjakan empat rakaat satu salam boleh-boleh saja, bahkan dikerjakan sekaligus dalam satu salam juga boleh.

Kesunahan Shalat Dhuha

Semua ulama mengamini status kesunahan shalat Dhuha. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal derajat kesunahan. Imam Malik dan Imam Syafi’i menyatakan bahwa shalat Dhuha adalah sunah muakadah (sangat dianjurkan), sehingga boleh dilaksanakan secara kontinu, istikamah. Riwayat yang menyatakan bahwa Nabi pernah meninggalkan shalat Dhuha, hal itu bertujuan untuk membedakan antara perbuatan sunah dan wajib, khawatir shalat ini dianggap wajib, sebagaimana hal sama beliau lakukan dalam shalat tarawih.

Sementara menurut Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hanbal sunah saja. Bahkan sebagian ashab (murid-pengikut) Hanbali mengatakan bahwa shalat Dhuha tidak dianjurkan untuk dilaksanakan secara istikamah, karena hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi. Beliau tidak selalu mengerjakan shalat Dhuha secara kontinu. Selain alasan tersebut, mereka juga berargumen jika dilakukan secara kontinu akan menyerupai shalat wajib.

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha

Mayoritas ulama sepakat bahwa paling minimalnya shalat Dhuha adalah dua rakaat, seperti umumnya shalat sunah, dan paling maksimal delapan rakaat. Namun, terdapat sebagian ulama yang menunjuk angka 12 sebagai jumlah maksimal rakaat shalat Dhuha. Akan tetapi, pendapat ini dinilai lemah.

Lebih jauh lagi, ulama berbeda pendapat tentang jumlah rakaat yang dinilai paling utama dalam shalat Dhuha. Menurut golongan Hanafiyah yang utama adalah delapan rakaat, meskipun di antara mereka ada yang berpendapat paling maksimal adalah 12 rakaat. Karena delapan rakaat itulah yang dipraktikkan oleh Nabi.

Akan tetapi, jika 12 rakaat dilaksanakan secara terpisah dalam setiap dua rakaat satu salam, atau empat rakaat satu salam, tentu lebih utama, karena yang delapan rakaat dihitung shalat Dhuha, selebihnya menjadi shalat sunah mutlak. Alhasil, bagi ulama yang berpendapat bahwa jumlah maksimal shalat Dhuha adalah delapan rakaat, jika dikerjakan 12 rakaat sekali salam, maka lebih utama delapan rakaat, karena shalat tersebut otomatis menjadi shalat sunah mutlak, bukan shalat Dhuha lagi.

Sebaliknya, bagi mereka yang berpendapat jumlah maksimal shalat Dhuha adalah 12 rakaat, jika dikerjakan dengan satu salam, maka jumlah itulah yang paling afdal. Akan tetapi, jika 12 rakaat dikerjakan secara terpisah, dua-dua atau empat-empat, maka tentu ini yang paling utama menurut semua golongan. (Muhammad Amin bin Umar Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar (Mekah: Dar Alam al-Kutub, tt.), II/465).

Sedangkan menurut golongan Malikiyah enam rakaat adalah ukuran tengah-tengah, sedangkan delapan rakaat adalah paling utama, melebihi delapan rakaat dihukumi makruh, jika diniati shalat Dhuha. (Syamsudin Syekh Muhammad al-Dasuqi, Hasyiyah al-Dasuqi (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tt.), I/313).

Dalam pandangan ulama Syafi’iyah paling minimalnya kesempurnaan shalat Dhuha adalah empat rakaat. Naik satu peringkat lebih utama adalah enam  rakaat, dan menempati puncak keutamaan adalah delapan rakaat. Namun, boleh saja melebihi delapan rakaat hingga 12 rakaat dengan diniati shalat Dhuha. Menurut kelompok ini sisi keutamaan jumlah delapan rakaat karena ittiba’ (mengikuti) terhadap praktik Nabi.

Sementara menurut ulama Hanbali paling utama dan maksimal adalah delapan rakaat. Golongan ini tidak memberikan komentar secara detail tentang keutamaan jumlah rakaat shalat Dhuha, hanya memberikan batas minimal dan maksimal saja. (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, tt.), III/529., Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati, Hasyiyah I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiy, tt), I/254., Abi Muhammad Abdillah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1983), I/767).

Surat yang sunah dibaca pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah adalah surat As-Syams [91] dan rakaat kedua setelah Al-Fatihah surat Ad-Dhuha [93]. Bagi yang belum mampu menghafal dua surat tersebut, pilihan selanjutnya adalah surat Al-Kafirun [109] pada rakaat pertama dan surat Al-Ikhlas [112] pada rakaat yang kedua. Pilihan kedua ini merupakan pendapat Imam al-Romli dari kalangan mazhab Syafi’i. (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati, Hasyiyah I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiy, tt), I/255).  

Niat Shalat Dhuha

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ لِلهِ تَعَالَى.

Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …