Sebenarnya harus ditegaskan dari awal bahwa kawin kontrak tak lebih sebagai trik untuk halalisasi zina. Lebih tepatnya, maksiat bertopeng syariat. Terjadi bukan karena awam atau tidak tahu keharamannya, tetapi karena belitan hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan. Karena jelas-jelas haram masih diamalkan.
Tren kawin hewani ini populer di kalangan kaum Syi’ah dengan istilah nikah mut’ah. Sedangkan grup Wahabi memakai istilah nikah misyar. Nikah mut’ah adalah pernikahan dengan jangka waktu yang disepakati dan disebutkan dalam akad. Misalnya, seminggu, dua minggu , setahun dan seterusnya. Sedangan nikah misyar adalah nikah dengan niat talak namun tidak diucapkan secara tegas dalam akad.
Dua istilah ini tujuannya sama. Bedanya hanya dalam menyebutkan jangka waktu. Nikah mut’ah diucapkan ketika akad, sedangkan nikah misyar tidak diucapkan ketika akad hanya disimpan dalam hati.
Dalil Kawin Kontrak
Yang dijadikan dalil untuk melegalkan kawin kontrak adalah firman Allah:
“Maka istri-istri yang telah kamu campuri diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban”. (Al Nisa: 24).
Mayoritas ulama mengartikan “ujrah” dengan mahar. Akan tetapi, bagi mereka yang melegalkan nikah mut’ah, nikah misyar atau kawin kontrak kata tersebut diartikan dengan “biaya kontrak”.
Penggunaan kata “ujrah” yang artinya maskawin juga terdapat pada firman Allah, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. (Al Nisa: 4).
Mereka yang menganggap kawin kontrak legal dan halal mengambil makna keumuman ayat-ayat tersebut. Memang di era awal Islam kawin kontrak sempat dilegalkan namun kemudian dimansukh, dilegalkan lagi dan dimansukh lagi.
Riwayat hadis yang menceritakan bolehnya kawin kontrak kontrak adalah hadis Nabi pada saat terjadi Perang Tabuk. Saat itu, para sahabat diberi ijin untuk nikah mut’ah atau kawin kontrak. Tetapi kemudian Nabi melarangnya.
Pandangan Fikih tentang Kawin Kontrak
Pendapat jumhur ulama menyebutkan empat model pernikahan yang fasid (rusak atau tidak sah). Pertama, nikah sighar. Adalah tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar atau maskawin. Kedua, nikah mut’ah. Nikah dalam batas waktu tertentu yang disebutkan dalam akad. Ketiga, nikah dengan perempuan yang masih dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain. Dan keempat nikah muhallil. Nikah sebagai siasat supaya perempuan bisa dinikahi lagi oleh suaminya setelah ditalak bain atau talak yang tak bisa dirujuk lagi.
Dalam kitab utama madhab Syafi’i, Al Um (juz 5, hlm. 71), Imam Syafi’i mengatakan bahwa nikah yang dibatasi waktu hukumnya haram. Baik disebut dalam akad maupun tidak.
Pendapat yang sama dijelaskan dalam kitab Fatawi al Syar’iyyah (juz 2 hlm. 7). Ulama sepakat tentang keharaman nikah mut’ah dan yang sejenis.
Dengan demikian bisa disimpulkan, menurut mayoritas ulama, terutama empat Imam Madhab menyatakan bahwa kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah (fasid).