islam kaffah yes
islam kaffah yes

Islam Kaffah Yes, Khilafah No!

‘Isy kariman aw mut syahidan, hidup mulia atau mati syahid. Ungkapan ini sangat populer di kalangan umat muslim, seolah sabda Nabi (hadis) yang wajib dijalankan, padahal sebenarnya bukan!

Namun berbekal ungkapan tersebut, bagi sebagian kalangan, implementasi terhadap isy kariman aw mut syahidan dianggap sebagai puncak dari keberislaman seseorang, wujud nyata dari apa yang lazim disebut sebagai Islam yang kaffah, tanda sempurna. Benarkah demikian?

Terminologi Islam kaffah, merujuk pada konsep Q.S, al-Baqarah: 208, udkhulu fi as-silmi kaffatan (masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh) yang oleh kelompok tertentu umumnya ditafsirkan secara tekstual, sebagaimana arti atau terjemahannya, tanpa melakukan penafsiran dan makna lain. Turunan dari pemahaman ini, berimplikasi pada setidaknya dua arus besar yang selalu didengungkan oleh para pendukungnya.

Pertama, Islam kaffah dapat diraih jika setiap muslim berusaha mewujudkannya secara total dalam perilaku keseharian sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Dari argumen ini, sepintas benar dan tidak ada masalah, tetapi sesungguhnya mengandung problem krusial, sebab menurut kelompok ini, implementasi ajaran Islam wajib dikembalikan ke masa lalu, seperti cara beribadah hingga persoalan tatakelola negara.

Kemajuan teknologi, misalnya, dianggap sebagai ancaman dan perbuatan sia-sia karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat; cadar bagi kaum perempuan dianggap sebagai ajaran Islam yang wajib diamalkan karena terdapat sahabat yang mempraktiknya; sistem pemerintahan yang ideal menurut mereka adalah khilafah. Pemahaman dan cara beragama model beginilah yang diyakini sebagai Islam kaffah.

Kedua, konsekuensi dari pemahan romantik itu meniscayakan pada penerapan syariat Islam secara formal, yang ujung-ujungnya selalu berakhir pada kampanye ganti sistem dan ideologi bangsa menjadi khilafah. Mewujudkan Islam kaffah menurut mereka yang pro-khilafah seringkali memperoleh tantangan dari mainstream masyarakat Indonesia yang tidak menghendakinya.

Karena itu, usaha untuk memperjuangan tegaknya khilafah bagi mereka adalah perjuangan layaknya jihad dalam arti perang, sehingga berusaha sampai titik darah penghabisan demi memperoleh kemenangan. Dan dalam konteks inilah, jargon isy kariman aw mut syahidan dikampanyekan untuk memompa semangat juang kelompok jihadis.

Makna lain dan kontekstual

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan udkhulu, al-silmi, dan kaffah dalam ayat tersebut? Menurut Qamus al-Marbawi, karangan Muhammad Idris ‘Abd al-Rauf al-Marbawi, yang menerjemahkan kata udkhulu, berasal dari kata dakhala, mempunyai dua makna, yakni masuk dan memulai (al-Marbawi, tt: 195). Sedangkan kata al-silmi, menurut Ibrahim Anis, dalam al-Mu’jam al-Wasith, ternyata tidak hanya bermakna “Islam”, tapi juga bermakna al-shuluh (damai), al-musalim (keselamatan, orang yang menyukai keselamatan) (Anis, dkk, tt: 446). Kata kaffatan, menurut Farra’, seperti yang tertuang dalam Ma’ani al-Qur’an, di-nashab-kan karena sebagai masdhar (kata benda), dan maknanya berarti ma’an dan jami’an, yang biasanya digunakan dalam sebuah ungkapan, “berdirilah secara bersama-sama”, dan “berdirilah semuanya” (al-Qayyumi, Jld. II, tt: 536).

Dari pengertian secara bahasa itu, maka dapatlah dimengerti bahwa terdapat pemahaman yang lain, yang tidak melulu merujuk pada makna tunggal, “masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh”. Seperti beberapa contoh terjemahan berikut: mulailah dalam kedamaian secara bersama-sama; masuklah dalam kedamaian secara bersama-sama; mulailah dalam agama Islam secara bersama-sama; masuklah dalam Islam secara bersama-sama; masuklah mereka yang suka keselamatan secara bersama-sama; mulailah orang yang suka keselamatan secara bersama-sama (Ridwan, 2004: 54).

Adanya beberapa pilihan terjemahan yang begitu banyak dan dapat dijadikan alternatif untuk melakukan pembacaan terhadap maksud Q.S, al-Baqarah: 53, secara pasti menepis makna tunggal yang selama ini mengendap dan bertahan lama di hadapan penafsir kelompok pro-khilafah. Islam kaffah bagus dan ideal, layak diperjuangkan, tetapi tidak dalam makna yang tekstual pro-khilafah.

Mewujudkan Islam kaffah, tidak harus menegakkan Khilafah Islamiyah, yang membawa seseorang kepada pola pikir anti-Pancasila dan NKRI. Islam kaffah dalam keseharian bernegara lebih mementingkan isi kacang daripada kulitnya, yang berarti, selama bangsa ini damai, rukun, kondusif, sejahtera, makmur, dan dengan sendirinya kita aman sentosa dalam beribadah meski tanpa label negara agama/syariah, maka secara substansial kita telah mewujudkan Islam kaffah itu.

Jadi, dapatlah didimpulkan, bahwa Islam kaffah yes, khilafah no!

Bagikan Artikel ini:

About Ali Usman

Pengurus Lakpesdam PWNU DIY

Check Also

kemerdekaan palestina

Gilad Atzmon dan Pandangannya tentang Kemerdekaan Palestina

Gilad mendukung penuh “hak pulang kampung” rakyat Palestina dan “solusi negara tunggal” bagi penyelesaian konflik yang sudah berlangsung lama itu.

asmaul husna

Kearifan Sufi dan Terapi Asmaul Husna

Menjadi seorang sufi, atau menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah tantangan. Dikatakan demikian, …