“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan,” (Surah Hud ayat 15-16)
Apakah kesuksesan di dunia menjadi penanda kesuksesan meraih kebahagian di akhirat? Tentu bukan segalanya. Terkadang orang sangat bahagia di dunia, tetapi nasib dan takdir berbeda di akhirat. Terkadang seseorang kelihatan mulia di dunia dengan kealiman bahkan terlihat kasat mata mati dalam keadaan syahid, ternyata berbeda dengan kondisi di akhirat.
Dalam surat Hud ayat 15-16 di atas Allah menyebutkan bahwa barangsiapa yang mencari kehidupan dunia berupa kesenangan harta dan kedudukan, maka Allah akan memberikan hasil dari usaha yang mereka lakukan secara penuh. Namun orang-orang golongan inilah yang membatasi diri dengan hanya memikirkan kepentingan dunia dan kelak di akhirat mereka tidak mendapatkan apa-apa selain siksa api neraka.
Untuk menjelaskan kandungan ayat di atas, ada cerita yang cukup relevan dari sirah Rasul. Kisah ini tentang pengadilan akhirat ini yang terdapat dalam hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, An-Nasa’i, Imam Ahmad dan Baihaqi.
Kisah Tiga Orang Mulia yang Berujung Neraka
Dalam sebuah majlis, Rasulullah mengisahkan tentang tiga orang muslim yang suci di hadapan manusia namun ketika dihadapkan oleh hukum Allah bukan surga yang diperoleh, justru neraka yang didapat ketiganya. Tiga orang yang di sebutkan di atas adalah seorang mujahid yang mati dalam medan pertempuran, seorang alim, dan seorang yang terkenal memiliki sifat dermawan.
Saat persidangan Allah mulai digelar, beberapa orang merasakan kekhawatiran atas segala tindakannya yang telah dilakukan di dunia. Namun berbeda dengan ketika orang yang merasa mereka akan mendapatkan ganjaran surga karena sifat dan juga kebaikan yang meraka lakukan ketika masih berada di dunia.
Dipanggillah orang pertama menghadap Allah. Dia adalah pejuang dan syahid yang yang wafat di medan pertempuran. Karena merasa mati dalam keadaan syahid, iapun merasa dirinya akan mendapatkan ganjaran surga.
Allah bertanya kepadanya “apa yang telah kamu lakukan ketika didunia?” sang mujahid menjawab dengan bangga “aku telah berjuang d ijalanMu, aku telah mati dalam keadaan syahid demi membela agamaMu”.
Namun sayangnya Allah menyangkal atas pengakuan sang mujahid tersebut. Allah menegaskan “Kau berdusta, sejatinya kau berperang hanya agar dirimu dikenal sebagai manusia yang pemberani. Akupun telah mewujudkan keinginanmu, kau telah disebut-sebut sebagai laki-laki pemberani.” Akhirnya si mujahidpun mendapatkan balasan neraka oleh Allah.
Orang kedua yang dipanggil. Dia adalah seorang alim yang ketika di dunia berprofesi pengajar al-Quran. Iapun ditanya oleh Allah dengan pertanyaan yang sama, maka iapun menjawab “karena kecintaanku akan Allah dan Islam, setiap hari aku berusaha untuk memahami dan dicintai oleh Allah dengan cara mempelajari al-Quran dan juga mengajarkannya, supaya semakin banyak orang yang mengenalMu.”
Allah berfirman, “Kamu berdusta. Kau mempelajari ilmu agar disebut sebagai seorang alim dan kau membaca al-Quran agar kamu disebut sebagai seorang qari, Akupun telah mewujudkan keinginanmu, kau telah disebut-sebut sebagai seorang yang alim dan seorang qari.” Allah mengadili, dam masuklah sang alim kedalam neraka
Kini orang ketiga dipanggil, ia merupakan orang yang dianugrahi Allah harta yang melimpah. Dan ketika di dunia orang ini dikenal dengan sifatnya yang dermawan. Maka, Allahpun menanyakan tanggungjawab atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya.
Sang dermawan menjawab, “karena limpahan rizkimu, saya tidak pernah meninggalkan sedekah serta infaq, mencintai fakir dan anak yatim ku lakukan semata untuk mencari ridho Allah,”
Namun, sekali lagi Allah menyangkal akan apa yang diutarakan hambanya, “Kau berdusta, kau melakukannya karena ingin disebut sebagai seorang dermawan. Dan begitulah yang dikatakan orang-orang tentang dirimu,” maka iapun menyusul dua orang sebelumnya untuk dimasukkan ke neraka.
Betapa pandangan manusia hanya sebatas jarak antara mata dengan objek yang dilihatnya. Namun teramat dhaifnya manusia dalam melihat dan menilai sesuatu. Menerka baik atau buruknya suatu perkara hanya tersebab bentuk fisiknya.
Kisah di atas setidaknya menyimpan tiga pelajaran penting. Pertama, kemuliaan dunia belum tentu menjadi indikator kemuliaan di akhirat. Orang yang sukses meraih simpati dan kemuliaan di dunia belum tentu akan meraih kemuliaan yang sama di akhirat.
Kedua, ikhlas dan mengharapkan ridho Allah dalam ibadah menjadi utama. Karena itulah, niat menjadi penentu utama dari setiap ibadah. Jika ibadahmu telah begitu mulia di depan manusia, tetapi hati dan niatnya buruk di mata Allah, rusaklah pahala ibadah tersebut.
Ketiga, sesungguhnya penilaian terakhir dari semua ibadah adalah adalah yang Maha Tahu hakikat kebenaran. Ialah Allah yang Maha Adil dalam menilai setiap jengkal amalan manusia. Menimbang setiap dosa dan kesalahan. Mengadili apa-apa yang telah dikerjakan manusia selama di dunia.
Bila kebaikan sejati hanya bersumber dari Allah, maka mengapa sebagian besar manusia masih betapa sibuknya mencari kebaikan di mata sesamanya? Mengerjakan amalan-amalan hanya dengan tujuan mencari sanjungan dan pujian.