Jakarta – Seorang khatib harus memiliki wawasan washatiyah. Ini penting agar apa yang disampaikan para khatib itu benar-benar berisi dakwah sesuai petunjuk Alquran dan sunah, bukan ditunggangi oleh kepentingan lain baik itu politik maupun ujaran kebencian.
“Berwawasan wasathiyah berarti berwawasan moderat, tidak cenderung ke kanan atau ke kiri, apalagi ekstrem kanan atau ekstrem kiri,” ujar Ketua Komisi Dakwah MUI KH Ahmad Zubaidi pada acara Pendidikan Habib Wasathi yang digelar Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Wadah Silaturohim Indonesia ) di Gedung MUI Pusat dikutip dari laman Republika.id, Minggu (9/1/2022).
Kiai Zubaidi menerangkan, khatib atau dai harus berceramah dengan perkataan yang benar, bukan dengan kasar atau keras. Tidak dibenarkan melawan kemungkaran dengan kemungkaran yang lain.
“Setiap dai harus berkata sesuai fakta dan memiliki bukti sesuai petunjuk Alquran dan sunah,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, khatib yang berwawasan wasathiyah harus mengedepankan perkataan mulia. Ia mengingatkan, jangan sampai ceramah seorang khatib memicu kegaduhan, misalnya saling ejek, baik di kalangan internal umat Islam maupun kepada umat lain.
“Perkataan seorang khatib harus mengandung hikmah dan pengaruh positif kepada objek dakwah. Momen khutbah harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan agama umat Islam, meningkatkan spiritualitas dan membangun kedekatan dengan Allah SWT,” ujar dia.
Dengan pemahaman tersebut, khatib diharapkan menjadi pendakwah yang menenteramkan kondisi umat, mempersatukan bangsa, serta menjaga keutuhan NKRI. Dengan begitu, negara yang dibangun oleh para pendiri bangsa ini tetap utuh, damai, adil, dan makmur.
Pendidikan Habib Wasathi diikuti para khatib dan dai yang telah memiliki kemampuan berceramah dan pengalaman berdakwah atau berkhutbah. Juga mampu membaca Alquran secara baik dan benar, serta memiliki pengetahuan mengenai hadis dan pendapat ulama.
Pendidikan ini akan dilaksanakan selama 12 kali pertemuan dengan sistem moving class. Pelaksanaan pendidikan diselenggaarakan di tempat narasumber berada. Misalnya, jika narasumber merupakan ulama di MUI, kelas akan berlangsung di kantor MUI. Begitu juga ketika pemateri merupakan ulama pondok pesantren, maka materi akan diberikan di pondok pesantren tempat ulama tersebut berada.
Hal ini bertujuan agar peserta dapat menambah pengalaman dan kegiatan belajar tidak membosankan. Materi yang diberikan mencakup prinsip Islam wasathiyah, kode etik Islam wasathiyah, dan pendalaman materi keagamaan.
“Peserta juga akan dilatih dalam hal public speaking,’’ kata Kiai Zubaidi.
Kiai Zubaidi berharap, setelah selesai melaksanakan pendidikan, peserta memiliki wawasan keagamaan yang lebih luas dan kemampuan beretorika yang lebih baik, sehingga ketika berceramah akan semakin menarik jamaah.
“Karena khutbah di setiap Jumat sangat penting dan hanya berlangsung satu kali setiap pekan,’’ tukasnya.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah