إستفراغ الوسع في طلب الظن يشى من الأحكام الشرعية على وجه يحس العزيد عليه.
“Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu”.
Menyongsong bulan suci Ramadhan, pandemi Covid-19 mencapai positif 6.760[1]. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah hingga bulan Ramadhan. Upaya pemerintah dalam menanggulangi wabah telah disuarakan beserta gerak aparatur Negara, termasuk melibatkan domain agama hingga hak asasi manusia. Di sisi lain sebagian menitikberatkan spiritualitas, tradisi, agama dan budaya masyarakat Indonesia.
Di sebagian daerah memprotes, karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih membolehkan aktivitas lain dengan syarat tertentu. Kelompok keagamaan konservative bersikeras menentang anjuran pembatasan ibadah di ruang publik. Pandangan ini tentu menarik perhatian publik mengenai keabsahan instruksi dua lembaga negara dan organisasi keagamaan yang lebih layak didengar. Idealnya, agamawan dan pemerintah memiliki konsensus merumuskan subtansi penanganan covid -19 secara kolektif.
Pembatasan pada 28 J UUD 1945 tidak termasuk “kesehatan publik” tapi lebih condong kepada norma agama, ketertiban umum, nilai moral, termasuk tradisi dan budaya. Sebagaimana dinyatakan dalam MU PBB[2] hak-hak ekonomi, social, dan budaya merupakan instrument yang saling tergantung dan saling terkait sebab menyangkut kebebasan dasar manusia. Kovenan Internasional Hak Sipil Politik (KIHSP) atau international Covenan On Civil and Political Right (ICCPR) dalam Hukum & HAM menilai pembatasan itu harus ditetapkan melalui hukum, sesuai dengan UU No 12 tahun 2005.
Perlindungan dan pemenuhan kedua hak asasi ini harus mendapatkan perhatian yang sama. Pelaksanaan, pemajuan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Proses limitasi berkaitan dengan siracusa principles[3] demi public health (kesehatan publik), pembatasan dilakukan hingga batas waktu tidak menentu, bisa berbulan-bulan bahkan tahun, hal ini mendorong pemerintah memaksa warganya menjalankan intruksi yang terkesan arbitrer menurut awam. Misalnya pembatasan ruang domestik, bersalaman, kerja dirumah dan lain sebagainya.
Langkah strategis menghadapi pandemi bisa melalui pola desentralisasi dan legitimasi kebijakan pemerintah ke arah lebih teknis dengan mengedukasi agamawan untuk disampaikan kepada masyarakat, agar terjadi kesetimbangan baik pemerintah maupun golongan agamawan.
Dalam kitab jam’ul jawami’ fi ushulul fiqh terdapat ibarah
“المقدور الذي لا يتم الواجب المطلق إلا به واجب”[4]
“perbuatan yang mampu dilakukan oleh orang mukallaf , dimana kewajiban mutlak tidak dapat sempurna kecuali dengannya, maka perbuatan tersebut dihukumi wajib”
Kebijakan pemerintah dalam mengatur ruang domestik meliputi agama dan hak asasi manusia merupakan produk ijtihadi atau yang bersifat aqli (logika). Karena nash atau dalil bersifat qath’i dalam Al qur’an masih banyak disebutkan secara implisit, pemerintah memiliki kewajiban/amanah mengayomi, melindungi warganya dari pandemi yang sudah menjalar diberbagai kota.
Penyempurna kewajiban tersebut dalam batas kemampuan manusia (المقدور للمكلف) mengatur hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia yaitu sesuatu yang berukuran micro adakalanya seperti kuasa kehendak Allah SWT menjadi penentu ada dan tidaknya kapan dan di mana seseorang dapat terinfeksi, tidak dapat ditebak.
Ada faktor kesulitan di dalamnya meskipun dapat dicegah, terdapat ungkapan :
“حفظ النفس مقدم على حفظ العقل والدين”
“Menjaga jiwa diprioritaskan dari menjaga akal dan agama”[5]
Dalam hal ini, untuk memahami dan mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam diperlukan metodologi yang solutif diharapkan mampu memberikan interprestasi yang applicable terhadap sumber ajaran pokok Islam dalam realitas kehidupan kaum muslim. Metode yang dimaksud adalah ijtihad yang berfungsi juga sebagai interprestasi terhadap Al Qur’an dan sunnah, seperti yang pernah dilakukan sahabat diikuti tabi’in dan seterusnya setelah Nabi wafat.
بذل الفقيه وسعه في الإستنبط الأحكام العمليه من أدلتها التفصيليه
“Pengerahan kemampuan seorang faqih dalam menggali hukum-hukum yang bersifat amali dari dalil-dalilnya yang bersifat rinci”. Sahabat, tabi’in, ulama, dan umara’ memiliki I’tikad memenuhi kebutuhan untuk pengembangan prinsip serta hukum baru, agar tidak menyempit dan akhirnya lenyap.
Setelah wafatnya nabi tentu banyak menyisakan persoalan non-subtantif seiring dinamika zaman, perlunya metode ijtihad dalam menuntaskan pandemi adalah tanggung jawab bersama. Termasuk cuci tangan, memakai masker, social distancing ialah produk ijtihadnya kita saat ini bedasarkan proses ijma’ وشاورهم في الأمر, kemudian diikuti dengan ayat فإذا عزمت فتوكل على الله, إن الله يحب المتوكلين . manifestasi ijma’ berupa tindakan kooperatif antara pemerintah dan takmir masjid atau lembaga agama lainnya, hasil musyawarah adalah wasilah dlohir (perantara dlohir) lalu bertawakkal kepada Allah SWT wasilah bathin (perantara bathin).
Dengan demikian, sebaiknya intruksi dari pemerintah yang sudah terintregasi dari sudut hukum positif maupun agama ini bersama-sama kita amalkan, dan semoga pandemic ini segera berakhir. Amin..
[1] Diakses, Senin 20 April 2020, COVID19.GO.ID
[2] Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamasikan Universal Declaration Of Human Rights, pada tanggal 10 Desember 1948.
[3] Prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur didalam kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.
[4] جمع الجوامع في أصول الفقه
[5] Syeh Ali Jum’ah.