hukum menukar uang
hukum menukar uang

Memburu Uang Kertas Edisi Khusus, Inilah Hukum Tukar Menukar Uang Beda Nominal

Baru saja Bank Indonesia (BI) dan pemerintah merilis uang kertas pecahan Rp 75.000 edisi khusus Hari Kemerdekaan RI ke-75 pada 17 Agustus 2020 lalu. Karena edisi khusus, tentu jumlahnya terbatas. Hanya 75 juta lembar. Untuk mendapatkan uang khusus ini terlebih dulu harus mendaftar di website resmi BI. Pada tahap satu penukaran bisa dilakukan di kantor wilayah BI terdekat. Sedangkan tahap kedua penukaran bisa dilakukan di Kanwil BI dan bank yang ditunjuk.

Fenomena tingginya animo masyarakat terhadap uang kertas khusus ini dengan sendirinya menciptakan peluang untuk meraih keuntungan dengan menawarkan uang khusus tersebut pada orang lain dengan harga lebih tinggi. Tidak heran kalau di lapak-lapak online, dijual dengan harga sangat tinggi. Walaupun begitu, sebagai jalan pintas untuk memperoleh uang kertas baru ini, banyak orang yang membelinya.

Persoalannya sekarang, bagaimana hukum transaksi tukar menukar uang dengan selisih nominal tersebut dalam kajian fikih?.

Mayoritas ulama sepakat transaksi model ini, penukaran uang dengan selisih nominal, hukumnya haram. Mereka menganalogikan (qiyas) uang kertas sama seperti emas dan perak, termasuk benda ribawi. Sebab uang kertas merupakan alat tukar yang dominan tak ubahnya emas dan perak waktu dulu. Oleh sebab itu, penukaran antar uang kertas harus sama nilai nominalnya.

Dalam Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, menukil pendapat Syekh Abdullah bin Sulaiman bin Mani’ dalam karyanya Al Waraq al Naqdi, menyebut uang kertas adalah alat tukar yang posisinya sama dengan emas dan perak. Termasuk benda ribawi.

Musthafa al Khin beserta partner dalam karyanya Al Fiqh al Manhaji menyatakan, semua mata uang  berfungsi sama dengan emas dan perak, yakni sebagai alat tukar seperti mata uang saat ini, tergolong benda ribawi dan berlaku riba di dalamnya.

Pendapat ini diamini oleh Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu. Demikian juga Syekh Abdurrahman al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqhu ‘ala al Madhahib al Arba’ah.

Kesimpulannya transaksi tukar menukar uang dengan selisih nominal hukumnya haram. Namun keputusan hukum fikih seperti ini bila memandang uang tersebut sebagai objek transaksi (ma’qud ‘alaih). Artinya, tukar menukar uang selisih nominal dipandang sebagai transaksi jual beli (tukar-menukar) uang dengan uang lain.

Beda hukumnya bila transaksi tukar menukar uang dengan selisih nominal tersebut dilihat sebagai transaksi ijarah, penjualan jasa. Objek yang menjadi sorotan bukan tukar menukar uangnya, tapi sekedar penyedia jasa bagi orang lain.

Secara substantif, dalam term fikih jual beli ada dua macam, yaitu jual beli barang dan jual beli jasa. Ijarah masuk pada kategori jual beli jasa atau manfaat. Karena itu, praktek ijarah bukan bagian dari riba.

KH. Afifuddin Muhajir dalam karyanya Fathu al Mujib al Qorib menjelaskan, ijarah (sewa) sebenarnya termasuk jual beli. Bedanya, ijarah bisa dibatasi waktu. Produk ijarah bukan barang melainkan jasa atau manfaat. Baik manfaat dari barang maupun tenaga (aktivitas).

Dengan demikian, bila transaksi tukar menukar uang dengan selisih nominal digolongkan pada akad ijarah, sewa jasa tenaga seseorang, hukumnya boleh. Artinya, selisih nominalnya dianggap untuk membayar jasa pada penyedia pecahan uang kertas 75.000. Misalnya, menukarnya dengan uang kertas 100.000. Maka selisih nominal, yakni 25.000 adalah untuk membayar jasa penyedia uang edisi khusus ini.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …