makar
makar

Fikih Menghukumi Para Pemberontak

Kencangnya teriakan ideologi khilafah di negeri ini menambah kekhawatiran pada level yang sangat serius. Melihat kenyataan yang ada, gerakan ini dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif.

Bukti paling nyata adalah film Jejak Khilafah di Nusantara. Walaupun film ini mengangkangi sejarah yang ada, namun motif Islam yang dimainkan sebagai alat legitimasi sedikit atau banyak akan mempengaruhi cara berpikir umat Islam, terutama yang pengetahuan ilmu agamanya dangkal.

Fenomena doktrin ideologi khilafah, bila dibiarkan, menjadi geliat akar makar yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, doktrin ideologi khilafah pasti akan disandingkan dengan doktrin jihad. Pertama sekali mereka pasti akan meneriakkan bahwa pemimpin yang ada telah melakukan kedzaliman dan tuduhan lain yang memojokkan tata pemerintahan yang ada. Ujungnya, pemberontakan.

Untuk itu perlu secepatnya memberikan penyadaran pada masyarakat dit ingkat akar rumput, khususnya umat Islam, tentang sikap hukum Islam memandang seandainya terjadi pemberontakan di negara ini. Harus dijelaskan bagaimana fikih menghukuminya?.

Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Barang siapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) penguasa sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaima matinya orang-orang jahiliyah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Secara jelas hadis ini melarang untuk melakukan makar atau pemberontakan. Terhadap pemimpin yang dzalim sekalipun. Begitu juga segala aktivitas menyokong perbuatan yang dilarang oleh agama Islam ini dan mereka yang bergabung.

Ibnu Abidin dalam kitabnya Al Dur al Mukhtar menyatakan, setiap warga negara yang memiliki kemampuan wajib hukumnya membantu pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Dalam pandangan beliau, orang ataupun kelompok yang menebar fitnah, perpecahan, hasutan dan segala bentuk propaganda yang bisa menyulut api pertikaian merupakan kelompok yang dilaknat oleh Nabi. Begitu pula orang-orang yang membantu, menyokong dan memfasilitasi gerakan seperti ini sama dosanya dengan pelaku.

Orientasi hukum yang digariskan oleh para ulama fikih ini sejatinya untuk menjaga keadaan supaya kondusif. Bagaimanapun, apapun bentuk makar atau pemberontakan, akan berakibat kekacauan dan huru hara. Korbannya tentu masyarakat secara umum. Khususnya kaum wanita dan anak-anak. Pemberontakan hanya akan menimbulkan mudharat dan mafsadat. Keduanya, dalam hukum fikih harus dihilangkan.

Ulama fikih, sebagai kelanjutan dari hukum haram melakukan pemberontakan, kemudian menerapkan suatu kaedah bahwa menolak mafsadat lebih didahulukan dari meraih maslahah. Dar’u al Mafasid Muqaddam ‘ala Jalbi al Mashalih. Kenapa demikian?. Sebab maslahah yang hendak dicapai wujudnya masih semu. Sementara mafsadat sudah bisa dipastikan.

Dengan demikian, mencegah lebih baik dari pada mengobati. Menolak ideologi khilafah yang berpotensi merusak tatanan kondusif NKRI lebih utama didahulukan. Harus dilakukan sejak dini untuk menyuntik mati geliat ideologi yang berpotensi merusak akar budaya Nusantara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Memahami perbedaan, santun, dan rukun.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …