makar
makar

Menyoal Makar dalam Islam

Mendadak istilah ini mulai menggema kembali karena salah satu webminar di Yogyakarta yang gagal dilaksanakan dengan alasan adanya teror. Persoalan pun menjadi bergulir liar ke ranah hukum. Entah apa yang merasuki masyarakat yang mudah menafsirkan segalanya dengan mudah dan menjadi kontroversi.

Masyarakat di tengah pandemi sepertinya mudah sekali tersulut provokasi dan emosi. Mengambil cara mudah untuk menarik kesimpulan dan satu sisi mudah bermain di air keruh di tengah kondisi yang semestinya menahan diri.

Pembahasan akademis yang sejatinya sah dilakukan menjadi kontroversi ketika dibungkus dengan kalimat provokasi. Dari pendekatan akademis ketatanegaraan berubah isu menjadi penggelindingan opini pemakzulan dan makar.

Tentu semua tindakan mempunyai nilai dan kepentingan. Tidak ada diskusi akademis pun yang bebas nilai. Ada hal yang ingin dituju dan dicapai. Namun, tanpa berasumsi apapun apalagi menuduh, istilah makar ini memang cenderung sensitif.

Makar dalam term Islam disebut dengan bughat sebagai bentuk jamak dari baghyun yang berarti kerusakan atau tindakan yang melampaui batas. Secara umum menurut para fuqaha makar merupakan perbuatan yang membelot dari ketaatan kepadan pemimpin yang sah. Pembangkangan dilakukan karena adanya pandangan bahwa pemimpin telah melakukan tindakan zalim, kufur, kemaksiatan dan wajib diperangi.

Dalam pemikiran ulama klasik (salaf) pembagian bughat ada tingkatannya. Bisa sekedar pemikiran, aksi di jalanan, memiliki kekuatan militer atau pada tingkatan seperti khawarij. Namun secara umum makar atau bughat adalah pembangkangan, ketidakpercayaan dan berbagai upaya yang ingin melakukan delegitimasi pemerintahan yang sah.

Lalu, apakah pemimpin tidak boleh diturunkan secara paksa? Apa pemimpin zalim tidak bisa diberikan masukan? Ingat memberikan aspirasi dan menurunkan aksi dengan anarki dua hal berbeda. Menentang dan mengkritik kebijakan imam yang sah bukan bughot. Bahkan Nabi mengatakan berkata kritis di depan pemimpin zalim adalah bentuk jihad, tetapi menolak taat dan memenuhi kewajiban dalam konteks bernegara adalah bughat.

Nampaknya memang umat Islam harus cerdas memilih diksi sekaligus posisi. Kritik dan nasehat adalah hal baik dan harus dilakukan. Namun, intrik politik, provokasi hingga mendorong pembangkangan dengan alasan ketidaksepakatan merupakan kasus berbeda. Tentu berbeda antara mereka yang mengkritik dan memberontak atau mengajak untuk memberontak dan menggulingkan kekuasaan.

Dari kalangan Syafi’iyah, yakni Imam Zakariya al-Anshari mendefinisikan pemberontak sebagai sekelompok orang yang menentang imam dengan pandangan yang batil sebagai bentuk pra sangka dan keraguan. Mereka yang melakukan gerakan, menghasut dan memprovokasi masyarakat menurut hukum Islam wajib diperangi. Kelompok ini akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat.

Dalam Islam persoalan ketaatan terhadap pemimpin menjadi salah satu hal yang sangat pokok. Urusan keumatan tidak akan terselenggara apabila tidak ada pemimpin, sehingga kedudukan pemimpin sangat dibutuhkan dalam Islam. Bahkan lebih baik mempunyai pemimpin yang zalim daripada masyarakat kacau tanpa pemimpin.  Nabi bersabda: barangsiapa yang tidak mau taat (kepada imam/pemimpin) dan memisahkan diri dari jamaah kemudia dia maya, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah. (HR Muslim).

Menaati pada pemimpin mutlak dilakukan walaupun ia zalim. Artinya, Tidak boleh membangkang dari pemimpin kecuali telah nampak kekufuran yang nyata. Nyata dalam pengertian ini bukan hanya sekedar sangkaan dan multi interpretasi. Zalim yang nyata dirasakan secara obyektif, bukan subyektif penuh kepentingan politik.

Meskipun pemerintah telah jelas melakukan kezaliman pembangkangan dan pemberontakan dalam Islam sangat tidak diperbolehkan. Cara-cara damai konstitusional dan demokratis adalah cara yang lebih baik untuk dilakukan. Inilah yang dikatakan Nabi : Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah berkata yang benar di hadapan pemimpin zalim. Tetapi membangkang dan memerangi pemimpin sekalipun zalim itu sangat tegas dilarang oleh Nabi.

Pembangkangan atau makar bukan jihad. Jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan perdamaian dan melindungan keamanan umat, bukan justru menghantarkan keterpecahan umat.

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …