Dalam Risalah fi Taakkudi bi Madzahibil Arba’ah, KH. Hasyim Asy’ari berkata:
وَلَيْسَ مَذْهَبٌ فِي هَذِهِ الْأَزْمِنَةِ الْمُتَأَخِّرَةِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ إِلَّا الْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ، اللهم إِلَّا مَذْهَبَ الْإِمَامِيَّةِ وَالزَّيْدِيَّةِ وَهُمْ أَهْلُ الْبِدْعَةِ لَا يَجُوْزُ الْاِعْتِمَادُ عَلَى أَقَاوِيْلِهِمْ
Artinya: “Tidak ada satu madzhab pada zaman terakhir ini dengan sifat-sifat ini kecuali madzhab yang empat. Kecuali madzhab Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah, mereka itu ahlul bid’ah, tidak boleh berpegangan terhadap pendapat-pendapat mereka”[1]
Kesimpulan dari fatwa pendiri NU ini ialah bahwa pada zaman sekarang hanya ada empat madzhab yang bisa diikut, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dan fatwa ini juga merupakan salah satu rumusan dalam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Mengapa demikian ?
Menurut Syaikh Nawawi al Jawi, bertaqlid kepada salah satu imam yang empat di atas hukumnya wajib bagi orang-orang yang tidak mampu berijtihad. Dalam kitabnya ia berkata:
وَيَجِبُ عَلَى مَنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ أَهْلِيَةُ الْاِجْتِهَادِ اْلمُطْلَقِ أَنْ يُقَلِّدَ فِي الْفُرُوْعِ وَاحِدًا مِنَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ الْمَشْهُوْرِيْنَ وَهُمْ اَلْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ وَالْإِمَامُ أَبُو حَنِيْفَةَ وَالْإِمَامُ مَالِكٌ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
Artinya: “Wajib bagi orang-orang yang bukan mujtahid mutlak dalam masalah Fiqh bertaqlid kepada salah satu imam-imam yang empat yang masyhur. Mereka yaitu imam Syafi’i, imam Abu Hanifah, imam Malik dan imam Ahmad bin Hanbal radiyallahu anhum” [2]
Pada dasarnya, mujtahid mutlak banyak sekali selain keempat imam di atas, seperti Dawud Ad Dzahiri, al Awza’i, Ishaq bin Rahawiyah dan lainnya. Hanya saja fatwa-fatwa mereka yang sampai kepada kita saat ini tidak dijamin kebenarannya. Karena keilmuan mereka tidak ada penerusnya. Mereka tidak memiliki murid tetap dan juga karangan yang mendokumentasi fatwa-fatwa mereka itu. Ini alasan ulama’ mengapa tidak memperhatikan terhadap pendapat selain madzhab yang empat tersebut.
Syaikh Alawi bin Ahmad Asegaf:
وَلَيْسَتِ الْمَذَاهِبُ الْمَتْبُوْعَةُ مُنْحَصِرَةً فِي الْأَرْبَعَةِ، بَلِ لِجَمَاعَةٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ مَذَاهِبُ مَتْبُوْعَةٌ أَيْضًا كاَلسُّفْيَانَيْنِ وَإِسْحَاقِ بْنِ رَاهَوِيَّهٍ وَدَاوُدَ الظَّاهِرِيِّ وَالْأَوْزَاعِيِّ، وَمَعَ ذَلِكَ فَقَدْ صَرَّحَ جَمْعٌ مِنْ أَصْحَابِنَا بِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ تَقْلِيْدُ غَيْرِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ، وَعَلَّلُوْا ذَلِكَ بِعَدَمِ الثِّقَةِ بِنِسْبَتِهَا إِلَى أَرْبَابِهَا؛ لِعَدَمِ الْأَسَانِيْدِ الْمَانِعَةِ مِنَ التَّحْرِيْفِ وَالتَّبْدِيْلِ، بِخِلَافِ الْمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ فَإِنَّ أَئِمَّتِهَا بَذَّلُوْا أَنْفُسَهُمْ فِي تَحْرِيْرِ الْأَقْوَالِ وَبَيَانِ مَا ثَبَتَ عَنْ قَائِلِهِ وَمَا لَمْ يَثْبُتْ، فَأَمِنَ أَهْلُهَا مِنْ كُلِّ تَغْيِيْرٍ وَتَحْرِيْفٍ
Artinya: “Pada dasarnya madzhab-madzhab yang bisa diikut tidak terbatas kepada imam yang empat saja, akan tetapi banyak ulama’ yang bisa diikuti, seperti dua Sufyan (Sufyan bin Uyaynah dan Sufyan Ats Tsauri), Ishaq bin Rahawiyah, Dawud Ad Dzahiri dan al Awza’i. Tetapi sungguh-sungguh telah menjelaskan sekelompok dari Ashab kami (pengikuti imam Syafi’i) bahwa tidak boleh bertaqlid kepada selain imam-imam yang empat. Mereka beralasan karena tidak dapat dipercayai pendapat yang dinisbatkan kepada mereka, sebab tidak ada penyambung yang dapat mencegah adanya tahrif (perubahan dengan penambahan atau pengurangan) dan tabdil (pergantian redaksi). Berbeda dengan madzhab-madzhab yang empat, mereka mencurahkan dirinya dalam memeriksa pendapat-pendapatnya dan menjelaskan apa yang benar-benarnya darinya, sehingga orang-orang yang mengikuti pendapatnya aman dari adanya perubahan dan tahrif” [3]
Paparan di atas juga sama dengan apa yang dikatakan oleh Syaikh An Nafrawi dalam kitabnya al Fawakih al Dawani bahwa ulama’ sepakat atas wajibnya mengikuti salah satu imam yang empat dan tidak boleh mengikuti selain madzhab karena tidak dijamin terjaganya madzhab selain yang empat tersebut[4].
Jadi inilah alasan mengapa ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah hanya membatasi kepada empat Madzhab saja dan tidak membolehkan ke selain madzhab.
Wallahu a’lam
[1] KH. Hasyim Asy’ari, Risalah fi Taakkudi bi Madzahibil Arba’ah, Hal 29
[2] Syaikh Nawawi al Jawi, Nihayah al Zain, Hal 7
[3] Syaikh Alawi bin Ahmad Asegaf, Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, Hal 59
[4] An Nafrawi, Al Fawakih al Dawani, Juz 2, Hal 356