Berkostum Sinterklas?! Gak Masalah !
Sinterklas, memiliki beragam panggilan. Santa Klaus, Santo Nikolas, Santo Nick, Kris Kringle, Santy, Sinyokolas atau Santa. Mashur dengan julukan Bapak Natal, costum Sinterklas lalu menjadi ikon utama dalam Christmas (hari Natal). Dia adalah tokoh dalam berbagai budaya yang menceritakan tentang seorang dermawan yang gemar memberikan hadiah kepada anak-anak, khususnya pada Hari Natal.
Santa berasal dari tokoh dalam cerita rakyat di Eropa yang berasal dari tokoh Nikolas dari Myra. Ia adalah orang Yunani kelahiran Asia Minor pada abad ketiga masehi di kota Patara (Lycia et Pamphylia), kota pelabuhan di Laut Mediterania, dan tinggal di Myra, Lycia (sekarang bagian dari Demre, Turki).
Ia adalah anak tunggal dari keluarga Kristen yang berkecukupan bernama Epiphanius dan Johanna atau Theophanes dan Nonna menurut versi lain. Tokoh Santa kemudian menjadi bagian tidak terpisahkan dari tradisi Natal di dunia barat dan juga di Amerika Latin, Jepang dan bagian lain di Asia Timur. Terlebih dari sisi kostum yang ia kenakan.
Setiap perayaan Natal, kostum Sinterklas selalu menjadi menu wajib tradisi Natal. Ia juga menjadi pemandangan unik dan menarik, bukan saja bagi umat Kristiani, juga menarik bagi umat lainnya, umat Islam, salah satunya.Tak heran, bila momentum Hari Natal dinobatkan sebagai Hari Sinterklas.
Pengelola Mall, Supermarket, Minimarket menghimbau karyawannya untuk berkostum Sinterklas. Tujuannya, untuk menarik Pembeli dan Pengunjung. Lalu bagaimana pandangan Islam soal berpakaian ala Sinterklas bagi Umat Islam?
Sayyid Ba’alawi al-Hadhrami, seorang Mufti Hadaramaut, mencoba memberikan sinopsis atau ikhtisar (kesimpulan) secara logis dari diskursus soal berkostum ala non muslim. Menurutnya, fenomena kostum Sinterklas ini harus dilihat terlebih dahulu motif berkostumnya. Pertama, bila berkostum ala Sinterklas itu, motifnya adalah bersimpati kepada agama dan ajarannya, serta turut melakukan propaganda terhadap agamanya, maka orang seperti ini dihukumi ‘kufur’.
Kedua, bila berkostum ala Sinterklas itu motifnya hanya sekedar ingin memikat konsumen dalam kegiatan bisnisnya, maka, orang seperti ini hanya dinilai telah melakukan kesalahan dalam agama dan berdosa baginya. Dan dosa itu bisa ditebus dengan istighfar. Bughiyah al-Mustarsyidin, 1/402. Bahkan, menurut pandangan Ibnu ahajr al-Haitami, hukumnya hanya makruh saja, artinya lebih baik jangan berkostum ala Sinterklas. Fatawi Ibn hajar al-Haitami, 6/153.
Dalam metodologi hukum islam, “makruh” itu jenis hukum atau aturan yang masih membuka peluang untuk dikerjakan. Kenapa? Karena makruh adalah bentuk larangan tidak tegas dari Allah dan Rasulnya. Artinya melakukan sesuatu yang makruh, akibatnya tidak diganjar ‘dosa’. Maka, mengacu kepada pendapat Ibnu Hajar al-Haitami yang memberikan hukum makruh, berkostum ala Sinterklas dengan tujuan hanya ingin menarik minat konsumen dalam kegiatan bisnisnya, boleh boleh saja.
Wallahu a’lam bishshawab