Allah mengabulkan doa
doa terkabul

Penjelasan Doa bisa Merubah Takdir

Selama ini familiar di masyarakat ungkapan, “doa bisa merubah takdir”. Suatu asumsi yang berkonsekuensi terhadap ketidakpatenan takdir Tuhan. Memang, dalam sebagian keterangan para ulama ada istilah qadha mubram (paten) dan mua’allaq (bisa berubah). Karenanya, harus ada klarifikasi untuk menjernihkan pemahaman tentang doa bisa merubah takdir.

Misal, hadis yang dinyatakan soheh oleh ibnu hibbdan didalam kitabnya No. 872, dan dinyatakan hasan oleh imam turmuzdi dari jalur rawi yang berbeda berikut ini.

عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ، وَلَا يُرَدُّ الْقَدْرُ إِلَّا بِالدُّعَاءِ، وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ إِلَّا الْبِرُّ»

Dari tsauban, Rasulullah bersabda : “Sungguh seseorang mestinya telah terhalang rizqinya sebab melakukan dosa, akan tetapi rizqinyalah yang akan menghampirinua. Takdir Allah tidak bisa di tolak kecuali dengan do’a, dan tidak akan bertambah umurnya kecuali dengan (berbuat) kebaikan”.

Ibnu Umar pernah berdoa:

اللهم ان كنت كتبتني شقيا فامحني واكتبني سعيدا

“Wahai Tuhanku, jika engkau mencatatku sebagai orang yang celaka, maka leburkanlah dan  (gantilah) catatanku menjadi orang yang beruntung”.

Makna literlek hadits dan doa Ibnu Umar di atas memberikan pemahaman bahwa doa mampu merubah takdir. Hal ini bisa menimbulkan anggapan, bahwa Allah telah menggantungkan selamat dan celakanya seseorang dengan doa, bisa jadi pula jika pada kenyataannya takdir tidak sesuai dengan doanya akan merusak mental sesorang hamba yang telah berdoa dengan sungguh sungguh.

Oleh karna itu, mari kita lihat kembali penjelasan secara rinci dari para ulama terkait makna hadis di atas yang tidak bertentangan dengan aqidah kita. Bahwa, semua takdir Allah sudah final sejak zaman azali dan tidak mungkin ada perubahan lagi.

Abu hatim, seorang ulama ahli hadits mengatakan:

قَالَ أَبُو حَاتِمٍ: قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْخَبَرِ لَمْ يُرِدْ بِهِ عُمُومَهُ، وَذَاكَ أَنَّ الذَّنْبَ لَا يَحْرِمُ الرِّزْقَ الَّذِي رُزِقَ الْعَبْدُ، بَلْ يُكَدِّرِ عَلَيْهِ صَفَاءَهُ إِذَا فَكَرَّ فِي تَعْقِيبِ الْحَالَةِ فِيهِ. وَدَوَامُ الْمَرْءِ عَلَى الدُّعَاءِ يُطَيِّبُ لَهُ وُرُودَ الْقَضَاءِ، فَكَأَنَّهُ رَدَّهُ لِقِلَّةِ حِسِّهِ بِأَلَمِهِ، وَالْبِرُّ يُطَيِّبُ الْعَيْشَ حَتَّى كَأَنَّهُ يُزَادُ فِي عُمْرِهِ بِطِيبِ عَيْشِهِ، وَقِلَّةِ تَعَذُّرِ ذَلِكَ فِي الْأَحْوَالِ

Menurut Abu Hatim, sabda nabi pada hadits di atas bukan keumumam maknanya yang dikehendaki, karena dosa itu tidak menjadi penghalang akan datangnya rizqi yang telah ditentukan untuk seorang hamba, melainkan dosa itu akan mengotori kebersihan rizqi itu sendiri jika seorang hamba memikirkan akibat di dalamnya. Seorang hamba yang terus menerus berdoa, maka akan mempermudah baginya untuk menghadapi kenyataan akan takdir. Maka yang demikian itu seperti halnya seorang hamba telah menolak sebuah takdir karena ringannya beban kesakitan yang ia rasakan. Dan, (berbuat) kebaikan akan  mempermudah jalannya kehidupan sehingga seperti halnya seorang hamba telah ditambah umurnya dengan kemudahan hidupnya, dan sedikit pula kesulitan di dalam hidupnya.

Seorang ulama ahli hadis dari india yaitu syeikh abdurrohman al-mubarokfuriy pengarang kitab tuhfatul ahwazdi sarah sunan at-turmuzdi mengatakan:

وَتَأْوِيلُ الْحَدِيثِ أَنَّهُ إِنْ أَرَادَ بِالْقَضَاءِ مَا يَخَافُهُ الْعَبْدُ مِنْ نُزُولِ الْمَكْرُوهِ بِهِ وَيَتَوَقَّاهُ فَإِذَا وُفِّقَ لِلدُّعَاءِ دَفَعَهُ اللَّهُ عَنْهُ فَتَسْمِيَتُهُ قَضَاءً مَجَازٌ عَلَى حَسَبِ مَا يَعْتَقِدُهُ المتوقى عنه -الى ان قال- أَوْ أَرَادَ بِرَدِّ الْقَضَاءِ إِنْ كَانَ الْمُرَادُ حَقِيقَتَهُ تَهْوِينَهُ وَتَيْسِيرَ الْأَمْرِ حَتَّى كَأَنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ

Ta’wil hadis diatas ialah, sesungguhnya jika yang dikehendaki dengan qadha’ adalah sesuatu yang di takuti oleh seorang hamba yang mana turunnya sesuatu itu merupakan hal yang tidak ia sukai, dan berusaha menjauhinya ( agar tidak terjadi), jika sesuatu yang ditakuti itu kebetulan sesuai dengan doanya, yang mana Allah benar benar telah menolak sesuatu itu terjadi padanya, maka menyebut yang demikian itu sebagai qadha’ adalah qadha’ majazi berdasarkan apa yang menjadi keyakinan orang yang dijauhkan dari sesuatu (yang tidak disukai) itu. Atau, yang dimaksud dengan menolak qadha’ ialah, jika yang dikehendaki adalah makna hakikatnya maka yang dimaksud adalah meringankan dan memudahkan suatu urusan sehingga seperti halnya sesuatu (yang tidak disukai) itu tidak menimpanya.

Mengganti makna sebuat lafad yang sudah maklum yang ada didalam al-qur’an atau hadits tanpa adanya dalil lain sebagai penopang sama sekali tidak diperbolehkan, sebab hal itu jika dilegalkan betapa hancurnya makna sebuah lafad didalam al-qur’an atau hadis itu sendiri ditangan orang orang yang tidak bertanggung jawab. oleh karna itu, teori yang demikian (ta’wil) harus dilakukan oleh bukan sembarang orang. Semua itu dilakukan oleh ulama tidak lain tujuannya ialah tercipta keselarasan pemahaman agama secara utuh tanpa adanya kontradiksi antar dalil yang satu dengan lainnya.

Seperti hadis diatas, para ahli hadis tidak serta merta meninggalkan maknanya lafad “al-qadha” yang artinya keputusan dan digantikan dengan makna “al-khauf” yang artinya ketakutan, hal itu karna bersandar pada hadis nabi yang lain yaitu hadis yang menjelaskan tentang ruqyah:

الرُّقَى هُوَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ

“Ruqyah (jampi jampi) itu adalah bagian dari qudroh alloh”

Atau ta’wil berikutnya yakni mengganti makna “yuroddu” yang berarti menolak dengan “yuhawwanu” yang artinya meringankan atau “yuyassaru” yang artinya mempermudah, hal itu karna berdasarkan hadis nabi pula yang di riwayatkan oleh sahabat ibu umar ra:

عن بن عُمَرَ إنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِل

Diriwayatkan dari ibnu Umar: “Sesungguhnya doa itu bisa mendatangkan manfaat terhadap apa apa yang telah turun (menimpa kita) dan apa apa yang tidak diturunkan”.

Kesimpulannya, takdir Allah swt yang sudah paripurna sejak zaman azali, baik terkait selamat dan celaka, kaya dan miskin, panjang umur atau tidak, tertimpa musibah atau tidak, semuanya tidak bisa diinterfensi atau ditolak dengan doa, sebab fungsi doa hanya akan mempermudah dan meringanian hati atau tubuh kita untuk menghadapi suatu kenyataan, bila takdir yang menghampiri kita itu adalah takdir yang kita takuti. Andaipun takdir itu sesuai dengan doa kita, hakikatnya takdir itu jauh sebelumnya memang ditetapkan demikian.

Sekian wallohu a’lam.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

kopi sufi

Kopi dan Spiritualitas Para Sufi

Ulama dan Kopi apakah ada kaitan diantara mereka berdua? Kopi mengandung senyawa kimia bernama “Kafein”. …

doa bulan rajab

Meluruskan Tuduhan Palsu Hadits-hadits Keutamaan Bulan Rajab

Tahun Baru Masehi, 1 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 1 bulan Rajab 1446 H. Momen …