toxic parenting
toxic parenting

Pola Asuh Anak dalam Islam Mengatasi Toxic Parenting

Di balik kebahagiaan dan kebanggan menjadi orang tua, sejatinya terletak satu kewajiban dan pertanggung jawaban besar yang dipikul, tidak hanya di dunia namun juga di akhirat. Kewajiban itu adalah memenuhi kebutuhan anak yang menunjang mereka untuk bisa bertumbuh dengan sehat dan optimal, baik kebutuhan yang bersifat jasmani, spiritual, maupun emosional.

Kebutuhan jasmani mencakup pemenuhan makanan, sandang dan pangan. Kebutuhan spiritual meliputi afirmasi orang tua terhadap makna dan tujuan hidup, keyakinan dan keimanan dalam berislam, pendidikan nilai dan budi pekerti untuk membangun karakter yang tangguh serta terbinanya jalinan hati yang sehat antara anak dan orang tua.  Yang terakhir, kebutuhan emosional adalah orang tua wajib memberikan rasa aman, rasa percaya, perhatian dan kehadiran secara utuh, mendengarkan dan mengapresiasi, serta kasih sayang yang berkesadaran (mindfulness).

Sayangnya, dari ketiga aspek tersebut, masih banyak orang tua yang hanya terfokus untuk memenuhi kebutuhan jasmani saja. Kebutuhan spiritual dan emosional yang memang tak kasat mata sering terabaikan. Sehingga, meskipun secara jasmani si anak telah tumbuh dengan sehat dan sesuai harapan, namun secara spiritual dan emosional mereka tumbuh menjadi generasi yang rapuh, lemah pendirian dan kurang percaya diri.

Salah satu factor yang menjadikan anak tidak berkembang secara optimal di ranah emosional dan spiritual adalah toxic parenting. Lantas apakah itu toxic parenting?

Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan pola asuh orang tua yang selalu menginginkan dan menuntut anaknya agar menuruti kemauan orang tua tanpa memedulikan aspirasi dan kondisi hati serta mental anak. Tidak jarang, orang tua dengan pola pengasuhan seperti ini melontarkan kekerasan verbal yang tanpa disadari melukai hati anak dan mengkerdilkan potensi serta membuat anak memiliki konsep diri yang buruk.

Dalam Islam, pola asuh yang baik adalah pengasuhan yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT dan diterapkan dengan kasih sayang yang berkesadaran dengan tujuan memberikan maslahat sebanyak banyaknya bagi keluarga khususnya dan bagi alam semesta secara umum. Pola asuh yang sehat tidak mengandung unsur kekerasan, baik secara mental, verbal maupun fisik. Rosululloh SAW dalam salah satu haditsnya menyampaikan:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

Artinya : Dari Aishah ra, berkata: Rasulullahsaw. bersabda: “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang terbaik perilakunya terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku” (Sunan Turmudzi, no. hadits: 4269).

Dari hadits diatas kita mempelajari bahwa menerapkan pengasuhan yang sehat dalam keluarga merupakan tuntunan dan teladan yang telah Rasulullah SAW ajarkan. Perilaku baik yang bisa diterapkan salah satunya adalah dengan menghargai dan menerima emosi dan perasaan anak baik yang positif maupun negative.

Ciri Toxic Parenting dan Solusi Mengatasinya

Dalam memutuskan segala hal untuk anak, orang tua hendaknya tidak bersikap egois tanpa mempertimbangkan apakah anak puas dan bahagia dengan keputusan tersebut. Sebab, terlalu menuntut anak untuk mengikuti kemauan orang tua meskipun bagi sudut pandang orang tua itu adalah yang terbaik, adalah termasuk dalam tanda tanda toxic parenting.

Jika terjadi ketidaksesuaian harapan antara anak dan orang tua, langkah yang terbaik adalah komunikasi yang terbuka dengan berlandaskan saling percaya dan menghargai antara anak dan orang tua. Dengan demikian terbangun rasa saling pengertian, baik orang tua maupun anak bisa saling mendukung terhadap keputusan yang disepakati.

Selain itu, ciri ciri lain dari toxic parenting adalah sering melakukan kekerasan pada anak. Tanpa disadari kadang orang tua meneriaki, memukul maupun mengancam anak. Perilaku tersebut termasuk dalam kekerasan dalam pengasuhan. Alih alih berteriak, orang tua hendaknya memanggil anak dengan suara yang pelan namun tegas. Dengan suara yang pelan namun tegas, orang tua tetap dapat menegakkan otoritas dalam keluarga tanpa membuat anak merasa tidak nyaman.

Sedangkan untuk perilaku mengancam, orang tua hendaknya membiasakan diri untuk telaten memberikan penjelasan kepada anak. Mengapa harus begini, Mengapa tidak boleh begitu, hendaknya dijelaskan secara jelas dan konkrit kepada anak sehingga anak bisa mengikuti karena mengetahui alasan logis dibalik aturan aturan tersebut. Penjelasan ini juga melatih anak untuk berfikir kritis, bernalar dan juga mandiri.

Ciri terakhir dari pola asuh toxic adalah dominasi orang tua untuk mengatur segala hal dalam hidup anak. Sejak kecil anak tidak diberi kepercayaan dan keleluasaan untuk memilih dan melakukan hal hal yang sesuai dengan minat dan harapannya. Orang tua seperti ini menganggap bahwa hanya dia yang paling mengerti dan memahami kebutuhan anak, dan segala hal dalam hidup sang anak harus berada di bawah kendalinya serta sesuai dengan harapannya.

Pola asuh demikian pada akhirnya akan membuat anak kehilangan konsep diri dan tumbuh dengan karakter ekstrim. Menjadi sangat penakut atau sangat memberontak. Untuk mencegah terjadinya hal ini, orang tua hendaknya menumbuhkan sikap percaya bahwa anak mampu dan bertanggung jawab terhadap opsi opsi yang dipilihnya. Orang tua juga mesti menghargai pilihan tersebut dan menyemangati jika terjadi hal hal yang tidak sesuai dengan harapan.

Pada dasarnya, setiap anak adalah pribadi yang utuh dengan segala potensi dan kebaikan yang telah Allah SWT anugerahkan sejak dia lahir di dunia. Tugas orang tua adalah mengasuh, membersamai dan mendukung agar potensi tersebut menjadi berkah dan manfaat bagi seluruh alam. Tugas itu hanya bisa dilakukan dengan limpahan kasih sayang dan kepatuhan terhadap hukum hukum kebenaran.

Pola asuh yang salah akan berdampak buruk di masa depan anak, menjadikan anak tumbuh menjadi pribadi dengan tingkat kecemasan yang tinggi, mudah stress dan kepercayaan diri yang rendah. Lebih buruk, pola asuh yang buruk bisa menimbulkan lingkaran setan tak berujung yang berpotensi dialami juga oleh generasi generasi selanjutnya. Sebab, pola asuh tersebut telah tersimpan kuat dalam memori alam bawah sadar si anak.

Oleh karena itu, menjadi orang tua adalah tugas yang berat. Namun, pahalanya juga akan sangat berlimpah jika dijalankan dengan baik sesuai dengan fitrah anak sehingga anak tumbuh besar menjadi pribadi yang bermanfaat dan menjadi berkah bagi  lingkungan luas.

Bagikan Artikel ini:

About Nuroniyah Afif

Check Also

anak terkonfirmasi covid-19

Anak Terkonfirmasi Covid-19, Jangan Panik! Berikut Ikhtiar Lahir dan Batin untuk Dilakukan

Grafik kenaikan kasus Covid – 19 di Indonesia belum menunjukkan tanda akan melandai. Covid – …

8 fungsi keluarga

Momentum Menguatkan Kembali 8 Fungsi Keluarga di Masa Pandemi

Meningginya kasus Covid – 19 hingga menyentuh angka 30 ribu kasus baru per hari memaksa …