jamaah berdua
jamaah berdua

Posisi Makmum Shalat Berjamaah Berdua dengan Imam

Beberapa pekan yang lalu, tersebar meme yang berisi kritikan tata cara shalat berjama’ah hanya berdua makmum dan imam. Sebagaimana yang telah maklum diiketahui dalam jumhur fuqaha’, jika makmum sendirian, hanya shalat berdua dengan imam, maka posisi yang sunnah adalah makmum berada di sebelah kanan dan  mundur sedikit.

Namun praktek yang seperti ini justru perbuatan bid’ah yang tercela karena tidak ada dalil tentang tata cara berjama’ah yang seperti ini. Menurut meme tersebut, yang benar adalah posisi makmum sejajar lurus dengan imam.

Karena berdasar hadits yang diriwayatkan Ibn Abbas ra:

قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي فَجَرَّنِي فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ

Artinya: “Aku mendatangi Rasulullah saw pada akhir malam, lalu aku shalat di belakang beliau, kemudian beliau meraih tanganku hingga menempatkanku sejajar dengan beliau” (HR. Ahmad bin Hanbal)

Mengenai hadits di atas, jumhur fuqaha’ tidak menafikan tentang keberadaannya, hanya saja, menurut jumhur hadits ini sebagai dasar posisi makmum yang sendirian berada di sebelah kanan imam, bukan dalil mensejajarkan posisi makmum dengan imam. Ini dapat diketahui dari kelanjutan hadits tersebut dari percakapan Nabi saw dengan Ibn Abbas ra setelah shalat:

مَا شَأْنِي أَجْعَلُكَ حِذَائِي فَتَخْنِسُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَيَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ حِذَاءَكَ وَأَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ الَّذِي أَعْطَاكَ اللَّهُ قَالَ فَأَعْجَبْتُهُ فَدَعَا اللَّهَ لِي أَنْ يَزِيدَنِي عِلْمًا وَفَهْمًا

Artinya: “”Aku telah menempatkanmu sejajar denganku, namun mengapa engkau mundur? Aku menjawab; Wahai Rasulullah, apakah pantas bagi seseorang shalat sejajar dengan engkau, padahal engkau adalah Rasulullah yang telah Allah anugerahkan kepadamu? Rupanya Beliau kagum kepadaku karena ucapanku, lalu beliau berdoa untukku agar Allah menambahkan ilmu dan pemahaman kepadaku” (HR. Ahmad bin Hanbal)

Dari percakapan Nabi saw dengan Ibn Abbas ra ada dua kesimpulan:

  1. Nabi saw tidak menafikan dan bahkan membenarkan sikap Ibn Abbas ra yang mundur setelah ditarik sejajar.
  2. Kekaguman Nabi saw terhadap Ibn Abbas ra serta mendo’akannya atas ijtihad Ibn Abbas ra merupakan sunnah Nabi saw.

Dengan pemahaman ini, maka hadits tentang Ibn Abbas ra di atas tidak bertentangan dengan spirit dari hadits-hadits yang lain. Misal hadits tentang imam harus diikuti, makmum tidak boleh berbeda dengan imam:

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

Artinya: “Hanya saja dibuat imam agar diikuti” (HR. Bukhari dan lainnya)

Hal itu akan terwujud jika ma’mum berada di belakang imam, agar jelas siapa yang ikut dan siapa yang diikuti[1]. Dan inilah salah satu dasar jumhur fuqaha’ menetapkan keberadaan posisi makmum berada sedikit di belakang imam.

Di samping itu, posisi makmum yang sejajar lurus dengan imam akan menimbulkan ke khawatiran makmum, takut-takut dalam banyak bergerak dapat mendahului posisi imam. Maka mundur sedikit merupakan sikap kehati-hatian di dalam ibadah.

Di dalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah dijelaskan:

وَيُنْدَبُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ تَأَخُّرُ الْمَأْمُومِ قَلِيلاً خَوْفًا مِنَ التَّقَدُّمِ

Artinya: “Sunnah dalam keadaan tersebut makmum mundur sedikit karena khawatir mendahului posisi imam”[2]

Alasan lain makmum harus berada di belakang imam sedikit, ini merupakan sikap taadduban (tatakrama) makmum terhadap imam sebagaimana dilakukan oleh Ibn Abbas ra terhadap Rasulullah saw dalam hadits di atas.

Berdasarkan alasan di atas, menurut jumhur fuqaha’, posisi makmum yang sejajar dengan imam atau berada di belakang imam (bukan di sebelah kanan imam), hukumnya makruh. Syaikh Zakaria al Anshari menjelaskan:

وأن يَتَأَخَّرَ عنه قَلِيلًا اسْتِعْمَالًا لِلْأَدَبِ وَإِظْهَارًا لِرُتْبَةِ الْإِمَامِ على رُتْبَةِ الْمَأْمُومِ فَإِنْ سَاوَاهُ أو وَقَفَ عن يَسَارِهِ أو خَلْفَهُ كُرِهَ

Artinya: “Makmum agar membelakangi imam sedikit (di samping kanan dan mundur sedikit), sebagai tatakrama dan menampakkan urutan posisi imam dengan makmum. Jika makmum melurusi posisi imam atau berada di belakangnya (bukan di samping kanannya) maka hukumnya makruh”[3].

Maka dengan itu, jumhur fuqaha’ menetapkan posisi yang benar bagi makmum yang sendirian yaitu berada sebelah kanan dengan mundur sedikit. Inilah cara yang disepakati oleh para ulama’ Fiqh.

Lalu berapa jarak antara imam dan makmum yang benar ?

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiyah al Bujairomi:

حاشية البجيرمي على المنهاج (3/ 314)

( قَوْلُهُ : وَأَنْ يَتَأَخَّرَ قَلِيلًا ) أَيْ عُرْفًا وَلَا يَتَوَقَّفُ حُصُولُ السُّنَّةِ عَلَى زِيَادَةِ الْقُرْبِ بِحَيْثُ يُحَاذِي بَعْضُ بَدَنِ الْمَأْمُومِ بَعْضَ بَدَنِ الْإِمَامِ فِي الرُّكُوعِ ، وَالسُّجُودِ…وَكَوْنُهُ قَلِيلًا أَيْ بِقَدْرِ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ فَأَقَلَّ

Artinya: “Makmum agar membelakangi sedikit secara ‘Urf. Dan dalam memperoleh kesunnahan ini tidak harus sangat dekat antara imam dan makmum, namun cukuplah sekiranya sebagian tubuh makmum melurusi tubuh imam saat ruku’ dan sujud. Mundur sedikit artinya seukuran tiga hasta atau lebih sedikit”[4].

Kesimpulannya, apa yang disampaikan oleh meme tersebut tentang kesunnahan posisi makmum yang sendiri harus sejajar dengan imam adalah kontra produktif dengan mayoritas ulama’ Fiqh. Namun yang benar dalam posisi makmum yaitu di sebelah kanan, dan mundur sedikit sekitar tiga hasta atau lebih sedikit, yang penting sebagian tubuh makmum masih melurusi dengan tubuh imam saat melakukan ruku’ dan sujud. Karena lurus bukan berarti harus suluruh tubuhnya sama dengan imam. Sehingga kesimpulan ini tidak bertentangan dengan hadits Ibn Abbas ra di atas.

[1] Dr. Mushtafa Khin, dkk, Al Fiqh Manhaji, Juz 1, Hal 210

[2] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz 6, Hal 210

[3] Zakaria al Anshari, Asna’ Mathalib, Juz 1, Hal 222

[4] Zakaria Al Anshari, Al Bujairomi Alal Minhaj, Juz 3, Hal 314

Bagikan Artikel ini:

About Ernita Witaloka

Mahasantri Ma’had Aly Nurul Qarnain Sukowono Jember Takhassus Fiqh Siyasah

Check Also

caci maki

Hukum Menghina Kinerja Pemerintah

Pada prinsipnya, Islam melarang siapa pun menghina orang lain, termasuk kepada Pemerintah. Menghina termasuk perbuatan …

politik

Siapakah yang Dimaksud Pemimpin Dzalim ?

Dalam salah satu riwayat, ketika Umar bin Abdil Aziz ra diganti menjadi khalifah ia berdiri …