HUT RI 75 tahun
HUT RI 75 tahun

Refleksi 75 Tahun RI : Belajar dari Kisah Nasionalisme Para Nabi

Saat ini, bangsa Indonesia tengah merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaannya yang ke 75. Hal ini menandakan bahwa bangsa Indonesia telah bebas dari penjajahan sejak 75 tahun yang lalu. Kemerdekaan ini bukanlah hasil pemberian secara gratis dari para penjajah, melainkan buah perjuangan para pahlawan bangsa yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan bangsa ini.

Sebuah pengorbanan yang mulia tentu hanya akan muncul berkat  adanya cinta yang besar terhadap tanah airnya, tumpah darahnya. Rasa cinta yang mendalam terhadap tanah air itulah yang selanjutnya disebut dengan nasionalisme.

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat menjalani kehidupannya dengan sendiri. Meminjam istilah Ibnu Khaldun (1332-1406 M) manusia merupakan insān madaniy atau makhluk yang berperadaban. Hadirnya sebuah bangsa dan negara merupakan produk dari peradaban manusia itu sendiri.

Menurut Ernest Renan, sebuah bangsa akan terbentuk, setidaknya dengan adanya dua hal; adanya rakyat yang dulu pernah menjalani satu riwayat yang sama, dan adanya keinginan hidup mejadi satu. Proses kebersamaan dan keberlangsungan hidup yang dijalani dalam sebuah teritori yang berlangsung lama ini selanjutnya akan mampu melahirkan rasa cinta dan rasa memiliki terhadap tanah kelahiran dan negeri.

Dalam pandangan Islam, kecintaan terhadap tanah air ini memiliki akar sejarah yang panjang yang dapat dirunut ke belakang. Ajaran Islam tidak menafikan adanya anjuran untuk mencintai tanah air, tumpah darahnya. Banyak sekali bukti-bukti historis yang dapat dijadikan sebagai landasan pentingnya sikap nasionalisme bagi umat Islam, di samping landasan normatif-thelologis lainnya.

Di antara sekian banyak bukti sejarah kecintaan akan tanah air ini, adalah kisah-kisah sikap nasionalisme yang pernah ditunjukkan oleh para nabi dan rasul yang pernah diutus ke muka bumi ini.

Kisah Nasionalisme Para Nabi

Sejarah telah mencatat kisah nabi-nabi dan para utusan Allah swt. yang memiliki rasa nasionalisme yang begitu tinggi terhadap tanah airnya. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an yang mengisahkan adanya ikatan emosional yang kuat para nabi dengan wilayah yang mereka tempati. Bahkan, tantangan berat yang mereka rasakan adalah tatkala jalan dakwah yang mereka tempuh berakhir dengan pengusiran mereka dari kampung halamannya yang selama ini mereka tempati.

Al-Qur`an mengisahkan bagaimana gusarnya perasaan nabi Syu`aib tatkala ia diancam diusri oleh pemuka-pemuka kaumnya untuk keluar meninggalkan kampung halamannya. “Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syuaib berkata, “Wahai Syuaib! Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kami, kecuali engkau kembali kepada agama kami.”Syuaib berkata, “Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak suka? (QS.al-A`raf: 88).

Pilihan yang berat diberikan kepada beliau, kembali kepada agama nenek moyangnya atau tetap mempertahankan akidah ketauhidannya dengan konsekuensi keluar dari kampung halamannya. Sebagai seorang nabi, kendatipun rasa cinta terhadap tanah airnya sangat tinggi, namun ikatan aqidah dan kecintaan kepada Allah swt. tetap lebih kuat.

Perlakuan yang sama juga pernah dialami oleh nabi Luth dan pengikutnya. Kaum Luth paham betul dan mengerti bahwa nabi Luth memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap kampung kelahirannya, dan akan berat untuk meninggalkannya. Sehingga dalam upaya menghentikan dakwahnya, mereka mengancam melakukan pengusiran. Hingga akhirnya, Allah swt. membinasakan mereka, kaum yang mengingkari nabi Luth, dengan menurunkan hujan batu. dan menyelematkan nabi Luth beserta keluarganya, kecuali isterinya. (QS. An-Naml: 56-58).

Al-Qur`an juga merekam bagaimana rindunya nabi Musa alaihis salam terhadap tanah airnya setelah menetap di Kota Madyan selama kurun waktu sepuluh tahun. Hingga setelah waktu yang telah disepakati tiba, akhirnya beliau meminta untuk pulang ke kampung halamannya (QS. Al-Qasas: 29). Nabi Ibrahim as. juga tak kalah dalam mencintai tanah airnya. Bukti kecintaan ini beliau buktikan dengan mendo`akan negeri yang telah lama ditempati (Makkah) agar menjadi negeri yang aman dan penduduknya dikarunia dengan rizki yang berlimpah (QS. Al-Baqarah: 126).   

Kecintaan Rasulullah Terhadap Kota Makkah

Rasa gundah gulana juga dirasakan oleh nabi Muhammad saw. tatkala diperintahkan untuk berhijrah, meninggalkan kampung halamannya, Kota Makkah menuju Madinah. Dikisahkan bahwa pada saat di perjalanan menuju Kota Madinah, beliau sering bersabda: al-wathan, al-wathan.

Diriwayatkan juga, setelah keluar dari Kota Makkah dan sampai di Juhfah, tiba-tiba baginda nabi diterpa kerinduan yang mendalam terhadap kota kelahirannya, Makkah. Kemudian datanglah Jibril dan berkata: apakah engkau merindukan negerimu dan tempat kelahiranmu ? nabi menjawab; ia. Maka malaikat Jibril berkata: Sesungguhnya Allah swt. berfirman:  

اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ  

Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali. 

Al-Alûsi (1217-1270 H) dengan berpedoman pada riwayat Ibnu Abbas menafsirkan kata ma`ād (tempat kembali) pada ayat di atas dengan kota Makkah.

Selang beberapa lama beliau menetap di Madinah, kerinduan dan kecintaan beliau terhadap kota Makkah tidak pernah pudar. Hingga akhirnya beliau pernah berdoa; Ya Allah, anugerahkan kami rasa cinta kepada Kota Madinah ini, sebagaimana cinta kami kepada Kota Makkah.

Dalam kitab Sahih Bukhari juga diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah hendak datang dari bepergian, beliau mempercepat jalannya kendaraan yang ditunggangi setelah melihat dinding kota Madinah, Bahkan beliau sampai menggerak-gerakan binatang yang dikendarainya tersebut. Semua itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan beliau terhadap tanah airnya. Ibnu Hajar al-Atsqalāni menjelaskan  hadis ini dengan menyatakan:

وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ

Hadis di atas menunjukkan keutamaan Kota Madinah dan disyari`atkannya kecintaan terhadap tanah air dan kerinduan terhadapnya.

Dalam konteks keindonesiaan, kecintaan terhadap negeri ini mutlak diperlukan. Kecintaan ini harus diawali dengan adanya kesadaran sejarah akan besarnya pengorbanan founding father bangsa ini. No pain no gain, tidak ada kesuksesan tanpa adanya pengorbanan. Kesadaran berikutnya adalah bahwa sikap nasionalisme tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Ia memiliki akar sejarah, yang dimulai sejak masa nabi-nabi terdahulu, hingga nabi Muhammad saw.  

Hal ini sekaligus menjadi antitesa terhadap pemikiran-pemikiran trans-nasional yang menarasikan bahwa nasionalisme tidak memiliki dasar pijakan dalam ajaran Islam. Berkat adanya kesadaran itu, maka para ulama merumuskan bahwa “hubbu al wathan min al-Imān” (cinta tanah air merupakan bagian dari iman).

Bagikan Artikel ini:

About Buhori, M.Pd

Dosen IAIN Pontianak dan Wakil Ketua PW.GP ANSOR Kalba

Check Also

firaun vs musa

Benarkah Fir`aun Panik Dengan Rencana Kepulangan Musa?

Beberapa hari ini saya menemukan tulisan dengan tajuk “Provokasi dan Kepanikan Fir`aun”, yang banyak tersebar …

demo anarkis

Demonstrasi Anarkis, Bagaimana Hukum Islam Memandangnya ?

Dalam sistem demokrasi, sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat, warga negara atau rakyat …