Salah seorang tokoh Salafi Wahabi Indonesia berinisial BS dalam salah satu ceramahnya pernah mengkritik Shalawat Nariyah yang biasa dibaca oleh umat Islam, khususnya warga Nahdhiyin. Setidaknya ada dua kritik yang disampaikan tokoh tersebut tentang Shalawat Nariyah. Pertama, Shalawat Nariyah adalah shalawat yang bid’ah, sebab shalawat ini tidak datang dari Allah swt atau pun Nabi Muhammad saw. Kedua, Shalawat Nariyah mengandung redaksi-redaksi syirik, seperti pada lafadz “tanhallu bihil uqadu” yang artinya “segala kesulitan dapat terpecahkan” atau lafadz “wa tanfariju bihil qurabu” yang artinya “semua kesusahan akan dilenyapkan”, dan lafadz-lafadz selanjutnya yang terkesan lebih mengedapankan Nabi Muhammad saw daripada Allah swt.
Lafadz-lafadz tersebut dianggap sebagai lafadz yang mendahulukan Nabi Muhammad saw dari Allah swt. padahal, tidak ada satu dzat pun di dunia ini yang bisa menghilangkan kesulitan dan kesusahan seseorang selain Allah swt. Manakala meyakini ada dzat lain yang dapat menghilangkan tersebut, maka ini sudah masuk kepada ranah syirik yang dilarang agama.
Begitu juga shalawat-shalawat lainnya yang biasa dibaca oleh warga Nahdhiyin juga mendapat kritik yang sama, seperti Shalawat Thibbil Qulub, Shalawat Jibril, Thobibil Qalbi dan lainnya.
Sebenarnya, bukan hanya ust BS, tetapi banyak tokoh Salafi Wahhabi Indonesia juga mengkritik Shalawat Nariyah dan shalawat-shalawat yangberisi pujian lainnya dengan alasan yang tidak jauh berbeda.
Menjawab kritik tersebut, Pertama, yang perlu diketahui adalah dalil membaca shalawat. Di dalam al Qur’an Allah swt:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kelian kepadanya, dan sampaikanlah salam terhadapnya” (QS. Al Ahzab: 56)
Tidak seorang pun yang mengingkari bahwa ayat ini tentang anjuran membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Dan dalam anjuran ini Allah swt tidak memberikan contoh bahwa dalam bershalawat, baik waktu, tempat, jumlah bahkan redaksinya pun tidak dijelaskan. Allah swt hanya memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk bershalawat. Ini artinya, dalam bershalawat, boleh dilakukan di mana saja, di waktu kapan saja, dengan jumlah berapapun dan dengan redaksi apa pun. Di lakukan secara bersama-sama atau pun sendirian tetap mendapatkan fadhilah membaca shalawat.
Begitu juga lafadz dan jumlahnya. Dengan redaksi apapun yang penting itu berbentuk shalawat maka tetap inklud ke dalam firman Allah swt di atas. Sehingga dengan demikian, seandainya ada seseorang yang mengatakan “shalawat nariyah adalah shalawat bid’ah” berarti orang tersebut telah membatasi dengan sendirinya terhadap sesuatu yang Allah swt tidak membatasi. Betapa su’ul adabnya orang yang demikian, merasa dirinya lebih paham dari Allah swt.
Begitu juga di dalam hadits, tidak ada satu hadits pun yang mengharuskan redaksi shalawat dengan kalimat tertentu. Ini dapat dilihat dari bentuk shalawat yang bermacam-macam.
Imam Syafi’i sebagaimana diriwayatkan oleh ulama’-ulama’ Syafi’iyah, dalam bershalawat menggunakan redaksi:
اللَّهُمَّ صَلِّ على مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُونَ وَكُلَّمَا سَهَا عنه الْغَافِلُونَ
Artinya: “Ya Allah, bershalawatlah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, setiap kali mereka ingat dan setiap kali mereka lupa”
Shalawat seperti ini juga tidak ada di dalam al Qur’an atau pun hadits. Ini adalah shalawat yang dibuat oleh Imam Syafi’i sebagaimana dijelaskan oleh imam Nawawi di dalam kitab Raudhatut Thalibin.
Kedua, terkait tentang ada beberapa redaksi yang mengandung kesyirikan ini adalah bukti ketidak pahaman Salafi Wahhabi terhadap penggunaan bahasa kiasan. Bahasa-bahasa kiasan seperti ini sering juga digunakan oleh para sahabat Nabi saw. seperti dari Anas bin Malik ra bahwa suatu ketika ada orang A’rabi datang kepada Nabi saw karena mendapatkan suatu kesulitan, lalu ia memuji Nabi saw dengan syi’ir. Salah satu bait syi’ir yang ia lantunkan terdapat redaksi:
وَلَيْسَ لَنَا إِلا إِلَيْكَ فِرَارُنَا * وَأَيْنَ فِرَارُ النَّاسِ إِلا إِلَى الرُّسْلِ
Artinya: “Tidak ada tempat pengaduan bagi kami kecuali kepadamu. Di mana yang ada tempat pengaduan manusia selain kepada Rasul_Nya”
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitabnya Dalailun Nubuwah dan imam At Thabari dalam kitabnya Ad Du’a.
Dalam riwayat tersebut, Nabi saw tidak memarahi kepada orang A’rabi atau mensyirik-syirikkannya sekalipun ia telah mengatakan “tidak ada tempat pengaduhan selain kepadamu”. Padahal, dan seharusnya tempat pengaduan manusia hanya lah kepada Allah swt semata, sebab Allah swt yang mampu memberikan kebaikan dan kesusahan kepada seluruh makhluknya.
Dari riwayat tersebut, maka kita mengetahui bahwa kata “semua kesulitan akan terpecahkan” maksudnya berkat Nabi Muhammad saw, Allah swt memudahkan kesulitan manusia. Bukan dzat Nabi Muhammad saw yang memudahkannya. Sayang sekali hal yang sederhana seperti ini tidak bisa dijangkau oleh ustadz-ustadz Salafi Wahhabi.
Wallahu a’lam
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah