Fikih merupakan salah satu produk hukum dalam Islam yang digali berdasarkan sumber hukum al-Quran dan Hadist dengan alat ushul fikih. Prakteknya, penerapan hukum dalam Islam selalu berjalan dinamis sesuai kondisi dan waktu. Karena itulah, perbedaan dalam fikih menjadi keniscayaan karena perubahan waktu dan kondisi.
Dalam menerapkan hukum baku fikih memang harus bijak dan lentur. Di samping itu, penerapan hukum Islam (fikih) harus melihat situasi dan kondisi, kearifan lokal dan budaya menjadi salah satu pertimbangan penting dengan memperhatikan kesesuaian dan keadaban. Pertimbangan ini yang dipakai oleh para imam mujtahid sehingga keputusan hukum mereka terkadang berbeda satu dengan yang lain. Contoh paling nyata adalah qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafi’i.
Seorang faqih (ahli fikih) akan lebih bijak dan luwes dari pada sikap seseorang yang tidak faqih. Semakin luas pengetahuan seseorang tentang ilmu agama semakin bijak dalam penerapan hukum. Memilah dan memilih hukum seperti apa yang lebih layak untuk difatwakan. Hal ini tidak berarti hukum Islam bisa dipermainkan, namun karena hukum Islam memang lentur dan tidak memberatkan umatnya.
Praktek inilah yang dilakukan oleh Sunan Kudus, salah satu dari kelompok Wali Sembilan (Wali Songo) dalam mempraktekkan fikih dalam konteks perjumpaan lintas agama. Beliau termasuk salah satu sunan dengan kapasitas pengetahuan yang cukup. Di antara indikatornya adalah ketika Sunan Kudus melarang berkurban dengan sapi. Umat Hindu di Kudus saat itu meyakini sapi sebagai hewan yang suci.
Pada dasarnya semua hewan ternak bisa dijadikan sebagai hewan kurban. Dikisahkan Bilal bin Rabah pernah berkurban dengan seekor ayam. Memang dalam literatur-literatur fikih klasik disebutkan hewan tertentu saja seperti sapi, onta, kuda, kambing, lembu dan hewan-hewan yang memiliki daging lumayan banyak. Hal ini bisa dimaklumi karena hewan kurban disembelih untuk dibagikan dagingnya. Namun, bagi mereka yang tidak mampu boleh-boleh saja berkurban dengan hewan ternak semisal ayam.
Sunan Kudus dalam berdakwah banyak berinteraksi dengan warga Hindu di Kudus. Sekalipun ia mengajak kepada agama Islam, tapi tidak memusuhi mereka yang saat itu masih memeluk agama Hindu dan agama yang lain. Tidak seperti sebagian mubaligh kita saat ini yang kerap menuding mereka yang berbeda agama dan paham keagamaan dengan murtad dan sesat.
Di sini terlihat kepiawaian Sunan Kudus yang bernama lengkap Sayyid Ja’far Shodiq anak dari Sunan Ngundung sebagai seorang yang alim sekaligus ahli fikih. Sekalipun sapi termasuk hewan yang baik dan sah sebagai hewan kurban, demi menghormati umat Hindu beliau melarang umat Islam berkurban dengan sapi. Memilih hewan lain seperti lembu.
Praktek fikih dengan hukum yang baku lantas dipertemukan dengan kondisi dan zaman yang berbeda. butuh tidak hanya penafsiran yang cermat, tetapi kearifan kebudayaan dan keagamaan yang memadai dalam mempraktekkan fikih lintas agama. Fikih yang mengatur praktek amliyah umat Islam dipertemukan dengan kondisi keragaman di suatu tempat yang melahirkan toleransi.
Praktek toleransi seperti ini seharusnya menjadi pelajaran bagi umat Islam saat ini. Terutama di saat momentum Hari Raya Idul Adha. Berkurban bukan hanya sebagai ibadah murni (ibadah mahdhah), namun memiliki dimensi sosial. Untuk melekatkan ikatan-ikatan sosial seperti berbagi dengan sesama dan sikap toleransi. Sehingga, karena alasan ini, maka sebagian ulama fikih mengatakan boleh membagikan daging hewan kurban kepada non muslim.
Toleransi adalah hal penting dan dianjurkan oleh agama. Sikap toleransi yang dipraktekkan Sunan Kudus bukan berarti mengingkari hukum Islam atau membenarkan akidah non muslim, namun semata sebagai penghormatan terhadap sesama manusia yang berbeda agama. Justru, dengan sikap yang demikian sehingga banyak kalangan masyarakat Nusantara yang berbondong-bondong untuk memeluk agama Islam.
Beda dengan sebagian mubaligh saat ini yang justru menimbulkan kekisruhan di publik dan memancing keruhnya pertengkaran dan permusuhan. Karenanya, pada dasarnya untuk menjadi seorang da’i atau mubaligh harus didukung dengan pengetahuan agama yang cukup. Mubaligh yang asal mubaligh seperti hanya bermodal ketenaran hanya akan menimbulkan kekacauan, bukan amar ma’ruf nahi munkar yang sebenarnya.
Praktek fikih lintas agama di tengah keragaman bangsa ini memang harus dirumuskan dan dikampanyekan. Tidak cukup berbicara fikih hanya dalam konteks umat Islam saja, tetapi bagaimana mengatur interaksi umat Islam dengan umat yang lain. Fikih diformulasikan secara dinamis dengan tetap mengacu pada sumber, tetapi tidak mengabaikan keragaman.
Sunan Kudus telah mengawali perumusan dan pembahasan sekaligus praktek fikih lintas agama di tengah keragaman masyarakat nusantara. Rumusan dan praktek fikih lintas agama Sunan Kudus ini semestinya dilanjutkan oleh para ahli fikih, pendakwah dan tokoh agama saat ini di tengah keragaman yang lebih kompleks seperti saat ini.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah