Dialektika pemikiran dan perang pena antar madzhab dalam karyanya masing-masing seputar surat al- Fatihah berlanjut. Kali ini adalah tentang hukum membaca surat al-Fatihah dalam shalat. Wajib apa tidak?.
Ada dua madzhab yang menjadi poros perdebatan seputar topik ini. Yakni pendapat madzhab jumhur ulama dan madzhab Imam Tsauri dan Abu Hanifah. Menurut jumhur ulama, yang diarsiteki oleh Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal, membaca surat al-Fatihah merupakan syarat sahnya shalat.
Konsekuensinya, shalat tidak sah jika tidak membacanya. Hal ini berlaku bagi orang yang bisa dan mampu membaca surat al Fatihah, karena ada hukum tersendiri bagi mereka yang tidak mampu untuk membacanya.
Beda halnya menurut Imam Tsauri dan Abu Hanifah yang mengatakan shalat tetap sah walaupun tidak membaca al-Fatihah. Namun, shalatnya cacat (tidak sempurna). Menurut madhab yang kedua ini, untuk sahnya shalat cukup membaca tiga surat pendek atau satu ayat panjang. Bebas memilih surat apa saja.
Dalil Jumhur Ulama
Jumhur ulama mengemukakan beberapa dalil sebagai dasar bendapatnya. Dalil pertama adalah hadis berikut.
عن عبادة بن الصامت وهو قوله عليه الصلاة و السلام: لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب (رواه الستة الا مالكا)
Dari ‘Ubadah bin al Shamit, Rasulullah bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat al Fatihah”.
Dalil kedua :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال : من صلي صلاة لم يقرأ فيها بأم الكتاب فهي خداج فهي خداج فهي خداج غير تمام (رواه مالك والترمذي والنسائي)
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Siapa yang shalat dan tidak membaca ummul kitab, maka shalatnya kurang, maka shalatnya kurang, maka shalatnya kurang, tidak sempurna”. (HR. Malik, Turmudzi dan Nasa’i).
Dalil Ketiga :
عن ابي سعيد الخدري أمرنا ان نقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسر (رواه ابو داود واسناده صحيح)
Dari Sa’id al Khudri, “Kami diperintah membaca Fatihatul Kitab (dalam shalat) dan surat-surat yang mudah”. (HR. Abu Daud, sanad hadis shahih).
Berdasar pada hadis-hadis di atas, jumhur ulama berpendapat wajib membaca surat al Fatihah di dalam shalat. Lebih tegas mereka menyatakan, bahwa redaksi hadist yang pertama menunjukkan tidak sahnya shalat tanpa membaca surat al Fatihah.
Demikian pula pada hadis yang kedua ketika Rasulullah mengulang kalimat “shalatnya kurang atau rusak” sampai tiga kali. Hal ini juga penegasan bahwa suarat al Fatihah merupakan syarat sahnya shalat.
Dalil Imam Tsauri dan Imam Abu Hanifah
Dalil pertama :
Artinya, “Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran”. (QS. al Muzammil: 20)
Seperti tercatat dalam tafsir Ahkam al Qur’an karya Abu Bakar al Razi, ayat ini menurut mereka cukup menjadi bukti bahwa ketika shalat hanya wajib membaca surat apa saja, yang paling mudah dibaca dan dihafal. Tidak mesti harus membaca surat al Fatihah.
Dan konteks ayat ini senyatanya memang berbicara tentang perintah membaca dalam shalat. Walaupun menunjuk secara khsusus kepada shalat malam, namun menurut redaksinya umum sehingga berlaku secara umum pula. Mencakup shalat sunnah maupun shalat wajib.
Dalil kedua adalah hadis Nabi riwayat dari Abu Hurairah, suatu saat ada seorang laki-laki masuk ke masjid lalu shalat. Kemudian mendatangi Rasul dan memberi salam, setelah menjawab salamnya, Rasulullah berkata pada laki-laki itu, “Kembalilah, dan shalatlah, sesungguhnya kamu belum shalat”.
Laki-laki tersebut kemudian shalat lagi, setelah selesai ia kembali menemui Rasulullah, namun beliau kembali menyuruh laki-laki tersebut untuk kembali dan shalat lagi. Hal itu berulang sampai tiga kali.
Laki-laki itu kemudian berkata Rasulullah, “Demi dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak bisa melakukan yang lebih baik dari ini”. Rasulullah kemudia bersabda, “Jika kamu hendak shalat, sempurnakanlah wudhu’ menghadap kiblat dan bertakbirlah, bacalah ayat yang mudah kamu baca dalam al Qur’an, kemudian rukuklah dengan sempurna dan thuma’ninah, kemudian I’tidallah hingga berdiri secara sempurna, lalu sujudlah dengan sempurna dengan thuma’ninah, kemudian angkatlah hingga berdiri secara sempurna. Kerjakanlah shalatmu seperti ini”.
Hadis ini, menurut Imam Tsauri dan Abu Hanifah menjadi dalil seseorang boleh memilih dan membaca surat apa saja dalam al Qur’an ketika shalat. Adapun hadis ‘Ubadah bin al Shamit yang dijadikan dalil oleh kelompok jumhur diarahkan kepada nafyu al Kamil (tidak sempurna), bukan nafyu al haqiqat (tidak sah). Karena la allati linafyi al jinsi dalam hadis tersebut menaqdir makna kamilah (sempurna). Dengan demikian, maka redaksi hadisnya adalah:
لاصلاة كاملة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak sempurna shalat seseorang yang tidak membaca fatihah al Kitab”.
Dengan alasan inilah, maka shalat tanpa fatihah tetap sah, namun makruh. Hadis riwayat ‘Ubadah tersebut serupa dengan hadis:
لا صلاة لجار المسجد الا في المسجد
“Tidak (sempurna) shalatnya orang yang tinggal didekat masjid kecuali shalat di masjid”.
Sedangkan pada hadis Abu Hurairah yang juga dijadikan hujjah oleh jumhur ulama, pada redaksi “shalatnya kurang atau tidak sempurna”, menurut madhab al Tsauri dan Abu Hanifah tidak otomatis membuat shalat tidak sah.
Karena bagi mereka kata cacat atau kurang tidak menunjuk tidak sah. Karena kalau arahnya adalah tidah sah, maka mestinya memakai redaksi batal. Justeru hal ini menunjukkan bolehnya tidak membaca surat al Fatihah dalam shalat.
Demikianlah perbedaan seputar apakah wajib membaca surat al Fatihah ketika shalat. Dari perbedaan itu, menurut Imam al Qurthubi, pendapat yang paling benar adalah pendapat jumhur ulama.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah