Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari Surat Edaran (SE) Menag nomor 1Tahun 2024 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1445 H/2024 Masehi, termasuk aturan pengeras suara di masjid. Menag menyarankan agar pelaksanaan shalat tarawih, ceramah atau kajian bulan Ramadan, dan tadarus al Qur’an menggunakan pengeras suara dalam. Maksudnya tidak lain untuk mengutamakan nilai-nilai toleransi.
Sebenarnya tidak ada yang salah dalam aturan ini. Hanya sebatas pengaturan penggunaan TOA atau speaker supaya tidak menggangu orang lain yang sedang beristirahat. Bukan melarang atau bahkan berniat menghambat atau menghalangi syiar dan dakwah Islam. Sama sekali tidak ada arah kesitu.
Tetapi, ada saja kelompok muslim yang berlagak dan menuding seolah-olah regulasi aturan Kemenag tersebut merupakan tindakan menghalangi atau bahkan penodaan terhadap Islam. Anehnya, suara itu muncul dari kelompok yang biasa melakukan tuduhan bid’ah terhadap amaliah kelompok lain sekalipun seagama hanya gara-gara madhab yang dianut berbeda.
Padahal, dari sudut pandang hukum Islam, TOA sendiri adalah sesuatu yang bersifat profan alias bid’ah, yang tidak ada di zaman Rasulullah. TOA diadopsi umat Islam untuk kepentingan syiar dan dakwah karena nilai maslahatnya yang besar. Untuk alasan itu, TOA atau pengeras suara tidak masalah digunakan dalam rangka syiar atau dakwah. Namun, harus bijak dalam penggunaannya supaya tidak menggangu ketertiban sosial.
Saya tak hendak berbicara panjang lebar masalah TOA atau pengeras suara perspektif hukum Islam. Hanya sedikit akan mengulik sejarah tadarus al Qur’an pada masa Nabi. Jelas tidak pakai pengeras suara sebab di era itu produk modern bernama speaker atau pengeras suara belum ada. Sementara saat ini tadarus al Qur’an sangat identik dengan pengeras suara, bahkan jarang sekali kita menjumpai kelompok tadarus al Qur’an tanpa TOA.
Sejarah Tadarus Al Qur’an
Tadarus al Qur’an adalah ngaji bareng di masjid atau mushalla. Hal ini karena membaca al Qur’an merupakan ibadah paling utama di bulan Ramadan, sebab al Qur’an diturunkan dalam bulan ini.
Cerita bermula dari riwayat Ibnu Abbas yang dicatat dalam Shahih Bukhari, setiap malam malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan mengajarkan al Qur’an. Secara tersirat hadits sebagai informasi bahwa Rasulullah menghatamkan al Qur’an sekali dalam setahun, yakni pada bulan Ramadan bersama malaikat Jibril. Kecuali pada tahun menjelang wafatnya, beliau menghatamkan dua kali.
Ibnu Rajab al Hanbali kemudian menyimpulkan, hadits di atas sebagai legalitas disunnahkannya tadarus al Qur’an di malam bulan Ramadan secara berjamaah. Praktiknya seperti yang jamak kita temukan saat ini di masjid atau mushalla. Penjelasan Ibnu Rajab ini termaktub dalam karyanya Bughyah al Insan fi wadzaif Ramadan.
Lebih lanjut Ibnu Rajab menjelaskan, hadits di atas memberikan informasi bahwa Rasulullah setor bacaan al Qur’an kepada malaikat Jibril setiap malam di bulan Ramadan.
Begitulah sejarah tadarus al Qur’an di bulan Ramadan. Sehingga umat Islam sangat dianjurkan memperbanyak membaca al Qur’an, terutama tadarus al Qur’an secara berjamaah di masjid dan mushalla yang biasa dikerjakan setelah usai melaksanakan shalat tarawih.
Satu hal yang harus menjadi catatan kita sebagai umat Islam, bahwa yang dianjurkan adalah tadarus al Qur’an berjamaah tanpa embel-embel harus diperdengarkan kepada khalayak publik. Penggunaan TOA atau pengeras suara saat tadarus bukan bagian dari anjuran melainkan pelengkap semata-mata untuk syiar Islam.
Memang, tidak ada yang salah dalam penggunaan TOA saat tadarus berlangsung. Sah-sah saja selama tidak menganggu orang lain yang sedang istirahat atau tidur. Apalagi di negara Indonesia yang terkenal dengan kemajemukannya. Maka, toleransi untuk saling menghormati tetap harus didahulukan.
Penggunaan speaker dalam menjadi solusi paling tepat saat tadarus, maupun saat berlangsungnya kajian keislaman di bulan Ramadan. Jangan sampai esensi dari tadarus al Qur’an hilang gara-gara pengeras suara. Bukankah yang mengerti dan memahami bahwa membaca al Qur’an bernilai pahala hanya umat Islam? Sementara penganut agama lain tidak mengerti akan hal itu. Sebab itu, wajar kalau mereka merasa terganggu oleh suara pengeras suara, apalagi kalau sampai melewati jam 21.00 WIB dimana kebanyakan orang beristirahat dan tidur.
Sekali lagi, yang dianjurkan adalah tadarus, bukan tadarus dengan pengeras suara. Karenanya, sekalipun tadarus al Qur’an menggunakan pengeras suara boleh-boleh saja, namun tetap harus memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Kalau dikhawatirkan mengganggu waktu istirahat orang lain, tentu lebih baik pakai pengeras suara dalam saja, atau bahkan tanpa pengeras suara.
Alhasil, kita harus menyadari bahwa toleransi juga merupakan bagian dari ajaran Islam. Sikap menghormati orang lain merupakan terjemah dari akhlak terpuji. Etika sosial juga menjadi perhatian besar dalam agama Islam. Sebab, seberapa keras bunyi syiar atau dakwah Islam diperdengarkan tanpa dibarengi sikap dan akhlak mulia justeru semakin menjauhkan penganut agama lain untuk bersimpati terhadap Islam.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah