Tradisi nisfu Sya’ban telah menjadi bagian dari denyut nadi ekspresi reliji-kultural masyarakat, lalu bagaimana pandangannya Islam?
Nisfu Sya’ban adalah pertengahan bulan Sya’ban dalam kalender Hijriah. Di tahun 2020, nisfu Sya’ban jatuh pada tanggal 9 April 2020. Malam nisfu Sya’ban akan diperingati dan dimeriahkan pada malam tanggal 8 April.
Nisfu Sya’ban sudah melegenda dalam ritual dan tradisi umat Islam. Ia merupakan bagian integral kehidupan umat. Sekaligus sebagai legitimasi budaya dan penyangga identitas.
Nisfu Sya’ban mampu membangun konstruksi keyakinan dan legitimasi kultural di kalangan umat Islam. Mereka meyakini banyak faedah dan keutamaan saat melakukan ibadah dan ritual tradisi di malam nisfu Sya’ban.
Nisfu Sya’ban dalam Tradisi Nusantara
Akulturasi budaya nisfu Sya’ban di Indonesia sudah berkecambah. Bagi masyarakat Jawa, Sya’ban adalah bulan arwah (Ruwah). Bulan di mana masyarakat diingatkan kembali untuk mengingat mati dan menghormati ruh leluhur.
Pada bulan ini berbagai tradisi lokal dilakukan untuk memuliakan para leluhur yang sudah meninggal dunia. Pada prakteknya, tradisi itu diwujudkan dengan membersihkan makam leluhur (Besik).
Biasanya warga lokal melakukan gotong-royong bersih-bersih di pemakaman kampung membentuk suatu tradisi yang membangun silaturrahmi dan solidaritas. Warga secara bersama membersihkan makam keluarga.
Nuansa spiritual keagamaan mengalir. Bertahlil berjama’ah (doa untuk leluhur) bersama di pekarangan makam dengan membawa makanan dan hasil pertanian untuk dibagikan atau di makan bersama-sama. Tradisi ini juga disebut dengan istilah “Nyadran”.
Di Jakarta, etnis Betawi juga mengenal istilah tradisi Ruwah jelang nisfu Sya’ban. Namun, ada sedikit perbedaan dengan tradisi Ruwah di Jawa. Di Betawi, Ruwah dilakukan dengan cara mengundang seluruh sanak keluarga untuk berkumpul di salah satu rumah keluarga lalu melakukan selamatan, yaitu mendoakan kerabat atau sanak famili yang telah meninggal dunia.
Puncaknya, pada malam tanggal 15 dari bulan Syaban, masyarakat akan berbondong-bondong menuju musolla atau masjid untuk melakukan tahlilan dan membaca surat yasin berulang-ulang. Warga berharap dengan digelarnya tradisi acara tersebut mendapat berkah dan bisa menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan lancar dan sempurna.
Di berbagai daerah, malam nisfu Sya’ban ditangkap dengan pemaknaan dan ekspresi tradisi yang berbeda-beda. Ada pula yang melakukan shalat nisfu Sya’ban. Tentu, ekspresi religi-kultural ini tidak muncul tiba-tiba dan tiada makna.
Lalu pertanyaannya, bagaimana sesungguhnya Islam mencermati tradisi nisfu Sya’ban tersebut? Adakah dasarnya dan ada yang mendorong berbagai tradisi nisfu Sya’ban ini muncul di tengah masyarakat?
Tradisi Malam Nisfu Sya’ban dalam Kacamata Islam
Untuk menguak misteri ini, kita telaah terlebih dahulu firman Allah :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Artinya : sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan. Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.QS: al-Dukhan:3-4
Menafsirkan ayat tersebut, al-Wahidi mengutip sebuah penafsiran yang tidak disebutkan mufassirnya bahwa yang dimaksud dengan “malam yang diberkahi” itu adalah malam nisfu Sya’ban (Al-wajiz Fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, 1/886).
Imam Thabari pun juga mengatakan hal yang sama, mengutip ahli tafsir, bahwa yang dimaksud dengan malam penuh berkah itu adalah malam nisfu Sya’ban. Namun Imam Thabari lebih membenarkan tafsiran yang mengatakan bahwa malam penuh berkah itu adalah malam lailatul qadar (Jami’ al-Bayan, 22/10).
Beda dengan Imam Syaukani yang mengutip dengan jelas tafsir Ikrimah, menurut Ikrimah malam penuh berkah itu adalah malam nisfu Sya’ban (Fath al-Qadir, 6/422).
Ibnu katsir membantah dengan keras bahwa malam penuh berkah itu bukanlah malam nisfu sya’ban melainkan malam lailatul qadar. Alasannya karena yang dimaksud dengan kitab al-Mubin itu adalah al-Qur’an, sementara al-Qur’an turun pada malam lailatul qadar (Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, 7/245).
Lalu bagimana dengan shalat Malam Nisfu Sya’ban?
Shalat ini muncul sekitar tahun 448 H, bermula saat Ibnu Abi Hamra’( seorang Qari’) ketika mampir di Masjidil Aqsha tanggal 15 Sya’ban. Beliau shalat hingga 100 rakaat banyaknya.
Umat yang pernah melihat Ibnu Abi Hamra’ kemudian membudayakan shalat malam nisfu Sya’ban ini, dari tahun ke tahun hingga dianggap sebagai salah satu syari’at Islam (Yasalunaka Fi al-Din Wa al-hayat, 4/350-351).
Kemungkinan besar Ibnu Abi Hamra’ itu ingin mempraktekkan Hadits Nabi :
عن مروان بن سالم ، عن ابن كردوس ، عن أبيه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من أحيا ليلة العيد ، وليلة النصف من شعبان لم يمت قلبه يوم تموت القلوب
Dari Marwan Ibn salim, dari Ibnu Kurdus, dari ayahnya ia berkata: rasulullah bersabda: barang siapa menghidupkan malam id dan malam nisfu sya’ban (dengan ibadah, maka hatinya tidak akan pernah mati di saat semua hati mati. (Mu’jam Ibn al-A’rabi, No. 2194).
Al-Gahazali mengatakan bahwa shalat nisfu sya’ban ini merupakan taqarrubnya salafuna al-Shalih mereka menyebutnya dengan istilah shalat al-khair ( Ihya’ Ulum al-Din, 1/203).
Mereka berdalil dengan hadits Nabi :
عن علي بن أبي طالب ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” إذا كانت ليلة النصف من شعبان ، فقوموا ليلها وصوموا نهارها
Dari Ali Ibnu Abi Thalib ia berkata, rasulullah bersabda: bila malam nisfu sya’ban tiba, maka isilah malamnya dengan ibadah (qiyam al-lail) dan isilah siangnya dengan puasa. HR: Ibnu Majah:1384
Imam Nawawi dan Syaikh Dimyathi Syatha mengatakan shalat ini bid’ah al-Munkarat. Alasan mereka, hadits yang mendasarinya tergolong hadits maudhu’ (Al-Majmu’, 4/56. I’anah al-Thalibin, 1/270).
Memburu Hikmah, Meraih Berkah
Dengan melupakan perdebatan apakah nisfu sya’ban atau lailatul qadar, setidaknya, untuk melegitimasi tradisi pemburuan hikmah dan pahala di malam nisfu Sya’ban pernah terfatwakan bahwa nisfu sya’ban adalah malam penuh berkah menurut teks keagamaan (alQur’an).
Terlepas apakah fatwa ini kuat atau lemah. Karena sejatinya kuat dan lemah itu semata untuk mendapatkan kebenaran. Sementara kebenaran mutlak itu hanyalah Allah semata. Sementara kebenaran di dunia ini, termasuk kebenaran tafsir al-Qur’an bersifat sangat relatif.
Maka, senyampang tradisi itu tidak bertentangan dengan aturan syari’at, maka tidak ada salahnya, bila dilestarikan. Sesuai dengan sabda Rasul
فما رأى المسلمون حسنا ، فهو عند الله حسن ، وما رأوا سيئا فهو عند الله سيئ
Hal hal yang dinilai baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula menurut penilaian Allah, dan hal hal yang dinilai jelek oleh orang orang islam, maka jelek pula menurut penilaian Allah ( HR: Ahmad: 3493).
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah