Islam kaffah – Sebenarnya tidak ada masalah dengan terminologi ulama politik atau ulama yang terjun dalam politik. Peran itu adalah sebuah pilihan. Ada ulama atau tokoh agama yang hanya memusatkan pada dakwah, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Ada pula yang melengkapinya dengan aktifitas politik. Dari dulu hingga sekarang tipologi ini selalu ada.
Ulama politik sebenarnya tidak bisa dilihat apakah ia bekerjasama dengan pemerintah atau justru memilih oposisi. Baik yang mendukung kerja pemerintahan dan menjadi oposisi yang selalu mengkritik pemerintah juga ulama politik. Artinya, sebutan ulama politik bukan saja ulama yang menjalankan program pemerintah, tetapi ulama yang juga mengkritik program pemerintah.
Tidak benar kemudian jika disebutkan bahwa ulama yang berada di oposisi itu bukan ulama politik. Bahkan kadang ulama dalam posisi ini justru lebih kental warna politiknya daripada keulamaannya. Kenapa? Karena hampir di setiap dakwah dan ceramahnya lebih banyak porsi ceramah politik dari pada ceramah keagamaannya. Namun, sekali lagi itu adalah bagian dari pilihan tokoh atau ulama itu sendiri.
Sampai di sini sebenarnya pilihan aktifitas ulama dalam politik itu adalah sah dilakukan. Namun, yang menjadi persoalan, ulama dengan otoritas dan basis kulturalnya seringkali bisa mengeksploitasi modal sosial dan kapitalnya untuk kepentingan politik. Kepentingan ini baik untuk mendukung program pemerintah maupun yang kontra terhadap segala kebijakan pemerintah.
Sebenarnya ulama yang dekat dengan pemerintah maupun memilih jauh dari pemerintah sama-sama memiliki kepentingan politik. Dan keduanya sama-sama mempunyai potensi untuk mengeksploitasi otoritas keilmuan dan basis kulturalnya untuk kepentingan pro dan kontra. Keduanya adalah ulama politik dengan posisi yang berbeda.
Bagi ulama yang pro dengan pemerintah akan selalu menyitir tentang ketaatan kepada ulil amri dan pentingnya kepemimpinan dalam kemashlahatan umat. Dalam konteks ini, pemerintahan dimaknai sebagai sarana mewujudkan kemashlahatan umat dalam berbagai bidang baik agama, sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Bahkan dalam konteks tertentu, ulama akan menyitir membela negara adalah bagian dari praktek keimanan.
Begitu pun juga ulama oposan. Mereka tidak kalah dengan menyitir amar ma’ruf nahi munkar sambil lalu membahana dengan jihad di depan penguasa yang dzalim. Bahkan namanya juga oposisi yang ulama akan selalu menempatkan diri sebagai pejuang laksana Nabi Ibrahim di depan Namrud dan laksana Musa di depan Fir’aun. Tidak jarang pula, kobaran api ceramah keagamaan ini membakar umatnya dalam konteks perang politik. Politik dimaknai sebagai ibadah dan ibadah adalah sebuah kewajiban yang harus dibela dan ditegakkan.
Siapa yang salah dan benar? Sepertinya terlalu naif jika harus menghukumi ulama yang semuanya mempunyai ijtihad berbeda dalam membangun sebuah bangsa dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Ini hanya persoalan cara pandang. Ulama satu akan memilih ingin membangun bangsa dengan tidak selalu berisi dengan konflik dan chaos dan menempatkan pemerintah sebagai mitra dalam membangun masyarakat. Sebaliknya, ijtihad berbeda akan dilakukan ulama dengan cara selalu mengkritik pemerintah agar sejalan untuk kepentingan rakyat.
Ulama pro dan dekat pemerintah dengan ulama kontra dan oposisi pemerintah sejatinya sama-sama ulama yang memainkan peran politik. Sama-sama ingin membangun bangsa dan berpihak kepada rakyat. Semuanya insyallah berjuang untuk kepentingan bangsa. Terpenting, modal kultural dan otoritas keilmuan ulama jangan digadaikan untuk kepentingan politik praktis dalam rangka mencari simpati dalam kontestasi pilihan politik. Jika itu yang terjadi sesungguhnya ulama politik menukar agama dengan cukup murah untuk kepentingan politik praktis.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah