Setelah sekian bulan penduduk bumi didera serangan Covid-19, terdengar kabar kemungkinan vaksin penangkalnya ditemukan. Bersamaan dengan ini pula, berhembus kabar penolakan dari kalangan masyarakat Indonesia tentang penggunaan vaksin tersebut. Indikasi penolakan yang dimulai dengan sebuah pertanyaan, bolehkah vaksin itu digunakan?
Asumsinya, vaksin Covid-19 yang kabarnya telah ditemukan bercampur dengan benda haram. Yaitu gelatin yang dikembangkan dari enzim babi. Alhasil, vaksin yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh seluruh penduduk planet bumi menjadi wacana serius terutama kalangan muslim. Bahkan ada dugaan vaksin Covid-19 adalah konspirasi pihak lain untuk melemahkan umat Islam.
Untuk itu, supaya tidak menjadi polemik tanpa dasar argumentatif, perlu menelusuri pendapat ulama fikih terhadap hal ini. Sebab halal dan haram dalam teori dan prakteknya tidak hitam putih. Hal ini tampak dari perbedaan para ulama madhab fikih ketika menyikapi suatu persoalan. Dari dalil yang sama memunculkan hukum yang berbeda.
Dalam kajian fikih ada istilah “istihalah”. Perubahan hukum dari suatu hal ke hal yang lain. Misalnya, suatu benda pada mulanya dihukumi haram. Tetapi kemudian hukumnya menjadi halal karena mengalami mutasi bentuk. Semisal khamar bermuatasi menjadi cuka.
Menurut Madhab Syafi’i, seperti tertuang dalam kitab al Majmu’Syarh al Muhaddzab karya Imam Nawawi, apabila perubahan zat itu terjadi secara alamiah, tidak ada campur tangan manusia dan benda kimiawi, teori istihalah bisa diterapkan. Sebaliknya, teori istihalah tidak berlaku bila dalam prosesnya ada unsur rekayasa manusia atau dengan perantara benda kimiawi.
Sedangkan menurut madhab Hanafi, seperti tertulis dalam kitab Radd al Mukhtar ‘ala al Durr al Mukhtar, kitab standar madhab Hanafi, Ibnu Abidin menyebutkan beberapa contoh istihalah. Di antaranya, babi yang tenggelam di laut kemudian tubuhnya hancur, setelah itu berubah menjadi garam, maka garam tersebut hukumnya halal. Demikian pula najis yang berubah menjadi abu hukumnya suci sekalipun asalnya adalah babi. Dan, menurut madhab ini istihalah berlaku secara mutlak. Baik perubahannya secara alamiah maupun ada campur tangan manusia dan benda kimia.
Merujuk pada pendapat dua madhab di atas, maka gelatin yang diproses dari lemak babi status hukumnya terpilah menjadi dua. Haram menurut pendapat madhab Imam Syafi’i karena istihalah terjadi sebab campur tangan manusia dengan memanfaatkan teknologi. Sedangkan menurut madhab Imam Hanafi hukumnya halal.
Dua pendapat ini berlaku dalam kondisi normal. Oleh karena itu, umat Islam bebas memilih keduanya. Beda halnya dalam kondisi darurat. Seluruh ulama sepakat akan kebolehan mengkonsumsi obat sekalipun berasal dari benda haram atau najis jika berada dalam kondisi darurat.
Dalam kajian ushul fikih, seperti ditulis oleh Abu Zahrah, darurat adalah suatu keadaan yang memaksa seseorang, tidak ada pilihan lain, untuk mengkonsumsi obat yang berasal dari benda najis atau haram sebagai upaya mempertahankan jiwa (hitdzu al nafs). Hidupnya terancam berakhir bila tidak mengkonsumsi obat yang haram atau najis tersebut tanpa menggangu hak orang lain.
Dalam kitab al Asybah wa al Nadhair, Imam Sayuthi membuat kaedah yang berbunyi, “Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang terlarang”. Kebolehan ini menurut para ulama madhab Imam Syafi’i tidak harus menunggu sakaratul maut, sebab pada saat itu tidak akan ada gunanya lagi.
Dengan demikian, hukum mengkonsumsi vaksin Covid-19 yang kabarnya telah ditemukan adalah boleh menurut madhab Imam Hanafi dan haram menurut ulama madhab Syafi’i. Tetapi, kalau vaksin Covid-19 itu menjadi satu-satunya obat, maka sudah masuk pada tingkat kondisi darurat. Dan, dalam kondisi ini semua ulama madhab sepakat akan kebolehannya.
Namun, terpenting saya kira umat Islam tidak mudah percaya dengan berita hoax dan kabar tidak jelas tentang isu-isu corona. Pentingnya tabayun agar tidak mudah terserat dalam kubangan hoaks yang dapat merugikan umat dan bangsa.
Wallahu a’lam