Qiro’ah Mujawwad
qiro'ah

La Roiba fih, Toleransi Ajaran yang Qur’ani

Berbagai peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama sepertinya belum cukup untuk menjadi pelajaran bagi sebagian umat islam khususnya. Kasus terbaru yang terjadi adalah penyerangan acara Midodareni di Solo. Toleransi yang menjadi kunci sukses perjuangan Nabi justru dicoreng oleh segelintir umat yang mengatasnamakan membela perjuangan Nabi.

Tidak bisa dibayangkan, apabila toleransi yang dimanisfestasikan dengan Piagam Madinah bukan kebijakan yang diambil oleh Nabi dalam membangun peradaban masyarakat Arab pada waktu itu. Meskipun tidaklah mungkin apabila Nabi tidak merealisasikan ajaran toleransi, sebab toleransi adalah bersifat qur’ani.

Majid Al-Gharbawi dalam bukunya Al-Tasamuh wa Manabi’ Al-Latasamuh membuat pernyataan yang menarik untuk kita simak bersama. Menurutnya, Tolernasi adalah ajaran yang islami. Sayangnya, sekelompok orang telah menjungkir balikkannya dengan mereduksi ayat-ayat al-Qur’an hingga akhirnya menuduh toleransi sebagai produk yang diimpor untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Sebelum kita membicarakan lebih lanjut terkait ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk menjunjung tinggi toleransi, dari pernyataan Al-Gharbawi dapat kita pahami bahwa gerakan-gerakan intoleransi justru telah berupaya menjauhkan umat islam dari nilai dan ajaran yang diilhami al-Qur’an.  Oleh sebab itu, yang menjadi produk impor untuk menghancurkan Islam bukan nilai-nilai toleransi melainkan ajaran yang intoleran.

Kilas balik pada Piagam Madinah, Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam Muhammad Insan Al-Kamil menjelaskan dengan begitu bagus. Menurutnya, ketika Nabi sampai di Madinah, kondisinya sedang dalam kekacauan yang sangat rumit untuk dipecahkan. Bani Aus dan Khazraj sudah sekian lama saling bermusuhan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh segelintir kelompok Yahudi dengan memanas-manasi kedua kelompok yang saling bersitegang tersebut.

Kebijakan gemilang Nabi akhirnya lahir setelah beliau menyadari realita masyarakatnya yang beragam, suku, agama, dan keyakinan. Untuk itulah Nabi memprakarsai perjanjian dengan seluruh kelompok yang berbeda  untuk sama-sama menjamin dan menjaga kebebasan, baik aqidah, kemuliaan nyawa, harta, dan harga diri. Disamping itu, Nabi juga menyeru kepada mereka untuk sama-sama berjuang membela negara.

Semangat yang saling menghargai inilah, sebagaimana disebutkan dalam sejarah, sebagai tonggak kegemilangan Nabi dan masyarakat Madinah membangun peradaban yang sangat dikagumi oleh kawan dan disegani oleh lawan. Inilah toleransi Nabi yang menjadi cikal bakal kegemilangan Islam dikemudian hari.

Istilah Toleransi dalam Al-Qur’an

Istilah toleransi dalam al-Qur’an memiliki ragam bentuk kata, al-‘afwu (memaafkan). maghfiroh (ampunan), dan mahabbah (cinta, sayang), hikmah (bijaksana). Dengan ini, nilai-nilai toleransi yang didengungkan dalam al-Qur’an sangat banyak dan dengan mudah kita temukan.

Kata lain yang mengandung makna toleransi adalah ash-shafh (ampunan, pemaafan, membebaskan) dengan padanan bentuk lainnya. Banyak ayat yang memerintahkan untuk memberi ampunan dan maaf, diantaranya adalah QS. al-Taghabun: 14, an-Nur: 22, al-Maidah: 13, dan masih banyak lagi.

Perintah-perintah tersebut oleh beberapa pengkaji al-Qur’an disimpulkan bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk memberi maaf atas tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang berpeda pandangan dengan Nabi sekalipun. Hal ini dengan tujuan agar terjalin hubungan yang baik dan persaudaraan yang kuat antara sesama.

Mungkin ada yang menampik dan menolak kesimpulan ini dengan mendasarkan pada argumen bahwa ayat-ayat tersebut turun sebelum Nabi diperintahkan untuk berperang. Atau dalam bahasa yang terlihat agak argumentatif adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang toleransi telah dihapus (naskh) dengan ayat yang memerintahkan untuk berperang.

Sekilas bantahan tersebut memiliki daya pemahaman yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan. Namun, apabila kita telisik lebih jauh, argumen tersebut justru dengan mudah ditemukan kelemahannya.

Pertama, ketika kita menengok penjelasan Khathib al-Syarbini, ulama syafi’iyyah terkenal, dalam kitabnya, Mughni al-Muhtaj, dapat kita simpulkan bahwa peperangan yang dilakukan oleh Nabi bukanlah bertujuan untuk memaksa orang lain masuk Islam. Peperangan pada waktu itu adalah untuk membela diri dari ancaman yang mengincar nyawa Nabi dan para sahabatnya. sehingga tidak ada alasan untuk berbuat kekerasan kepada orang lain selama mereka tidak melakukan gerakan yang mengancam keamanan diri kita.

kedua, apabila kita simak dalam Hasyiyah ash-Shawi, penjelas kitab Tafsir Jalalain, kita akan menemukan sebuah keterangan bahwa sesuatu yang baik, dalam hal ini ayat yang memuat seruan untuk berlaku bijaksana, tidak bisa dihapuskan dengan ayat yang menjelaskan tentang peperangan. Penjelasan ini jelas jawaban bagus dari seorang tokoh yang memiliki wawasan luas dalam bidangnya untuk orang yang mengatakan bahwa ayat tentang nilai-nilai toleransi telah dihapuskan hukumnya.

Kesimpulan

Pondasi yang menjadi kesuksesan dakwah Nabi adalah kesadaran dan diaplikasikannya nilai-nilai toleransi. Piagam Madinah adalah menifestasi ajaran toleransi yang dilakukan oleh Nabi dan menjadi contoh penting bagi umat islam setelahnya. Banyaknya ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menyeru tentang nilai-nilai toleransi menunjukan bahwa toleransi adalah ajaran Qur’ani. Tidak seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang telah mereduksi ayat-ayat al-Qur’an yang mengatakan bahwa toleransi adalah ide yang sengaja disusupkan untuk menghancurkan umat islam.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Bagikan Artikel ini:

About A. Ade Pradiansyah

Check Also

raja daud

Makna Khalifah Nabi Daud

Nabi Daud merupakan sosok yang memiliki pengaruh besar, sebab beliau menduduki jabatan sebagai raja. Budaya …

MUI

Menyoal Fatwa MUI yang Salah Sasaran

Akhir-akhir ini, kita dikagetkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung. Isi fatwa tersebut …