MUI
MUI

Menyoal Fatwa MUI yang Salah Sasaran

Akhir-akhir ini, kita dikagetkan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung. Isi fatwa tersebut adalah sterilisasi masjid dari korban penggusuran Tamansari. Ketika kita perhatikan, ada yang aneh dengan fatwa ini. Meskipun disebutkan bahwa fatwa tersebut bertujuan agar masjid difungsikan sebagaimana mestinya dan untuk menjaga kondusifitas masyarakat. Mengapa fatwa tersebut dinilai aneh? Bukankah begitu fungsi masjid semestinya?

Nabi pertama datang dengan ajarannya adalah untuk membebaskan masyarakat Arab yang diperlakukan dengan tidak semestinya oleh para penguasa pada waktu itu. Masyarakat Arab yang tertindas oleh sistem dalam al-Quran disebut dengan istilah mustad’afin (orang-orang yang dilemahkan). Bukti bahwa tugas Nabi adalah untuk membela yang tertindas direkam dalam QS. an-Nisa’ ayat 75, yang berbunyi;

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا

Artinya: “Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!” (QS an-Nisa’: 75).

Disejajarkannya perintah untuk berjuang dijalan Allah dan berjuang untuk membela orang-orang yang dilemahkan mengindikasikan keduanya adalah fokus penting dalam ajaran Islam. Hal tersebut sebagaimana pemahaman para ulama bahwa Nabi Muhammad sebagai makhluk mulia dengan alasan karena disejajarkannya nama Nabi Muhammad yang disebut setelah nama Allah.

Teguran al-Qur’an dalam ayat ini adalah mengapa umat islam tidak mau untuk berjuang membela masyarakat yang dilemahkan. Secara gramatikal, huruf “” bermakna istifham (pertanyaan). Muhammad ‘Ali Thaha Durrah dalam Tafsîr al-Qur’an al-’Adzim I’râbuhu wa Bayânuhu menyebutkan bahwa pertanyaan ini adalah pertanyaan yang bertujuan menjelekkan dan pengingkaran (istifham inkar wa taubikh). Maksudnya adalah “apa yang menyebabkan mengapa kalian tidak mau berjuang di jalan Allah dan menyelamatkan mereka yang dilemahkan dan direndahkan”.

Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat Ibnu Syihab yang menyatakan bahwa dalam kata mustadh’afin terdapat kata sabil yang dibuang. Apabila diterjemahkan maka artinya adalah mengapa kalian tidak mau berjuang (jihad) di jalan Allah dan jalan orang-orang yang dilemahkan dengan membela dan menyelamatkan mereka dari ketertidasannya.

Sementara Abu Bakar Al-Jazâirî dalam Aisar al-Tafâsir menyatakan, bahwa maksud kata mustad’afîn adalah orang yang lemah dan ditindas oleh orang lain karena lemahnya. Mustad’afîn semestinya perlu untuk diayomi dan diperjuangkan supaya nasibnya berubah menjadi lebih baik bukan malah ditindas, didzalimi, dan dimanfaatkan hanya untuk memuaskan hasrat dan nafsu individu atau kelompok tertentu.

Kepedulian Nabi kepada orang-orang yang dilemahkan juga terekam dalam salah satu do’a Nabi Muhammad, sebagaimana disebutkan dalam riwayatnya Imam Bukhari, yang berbunyi;

اللهُمَّ اَنجِ الوَلِيدَ بنِ الوَلِيدِ وَ سَلَمَةَ بنِ هِشَامِ وَ عَبَّاسَ بنِ اَبِي رَبِيعَةَ وَالمُستَضعَفِينَ مِن المُؤمِنِينَ

Artinya: Ya Allah, semoga engkau (Allah) menyelamatkan Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Abbas bin Rabi’ah, dan orang-orang mukmin yang dilemahkan.

Kesimpulannya, Nabi dan ajaran agama yang dibawanya adalah selalu membela orang-orang yang dilemahkan. Bahkan, Allah menegur ketika umat islam pada masa Nabi Muhammad tidak mau turut berjuang untuk membela orang-orang yang dilemahkan. Meskipun redaksi ayat menggunakan narasi pertanyaan, tetapi secara gramatika bahasa Arab ayat tersebut  mengandung arti teguran keras.

Apabila kita menyerap semangat dari ajaran Nabi, diantaranya dalam sudut pandang QS. an-Nisa’ ayat 75, maka kita akan menangkap kejanggalan fatwa MUI Kota Bandung yang tidak lama ini beredar. Sebagaimana tidak asing bagi para pembaca tafsir dan hadis Nabi, bukankah masjid pada era Nabi tidak hanya berfungsi untuk sholat, tetapi untuk singgah yang melakukan perjalanan meskipun sekedar untuk istirahat sebentar dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya?

Wallahu a’lam bish-shawab.

Bagikan Artikel ini:

About A. Ade Pradiansyah

Check Also

Qiro’ah Mujawwad

La Roiba fih, Toleransi Ajaran yang Qur’ani

Berbagai peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama sepertinya belum cukup untuk menjadi pelajaran bagi sebagian umat …

raja daud

Makna Khalifah Nabi Daud

Nabi Daud merupakan sosok yang memiliki pengaruh besar, sebab beliau menduduki jabatan sebagai raja. Budaya …