Aksi Vandalisme dan merobek al Qur’an yang dilakukan oleh Satrio Katon Nugroho yang viral di media sosial sontak membuat heboh. Aksi tak beradab itu ia lakukan dengan cara mencoret Mushalla Darussalam, Tangerang. Anehnya, pelaku meyakini tindakannya tersebut sebagai suatu kebenaran dan sah. Setelah ditangkap oleh pihak berwenang dan dilakukan penyelidikan, disinyalir pelaku belajar agama dari YouTube.
Bila benar demikian, berarti ada pengaruh negatif dari konten yang ia ikuti. Sebab tidak semua konten pengajian di YouTube dan platform media sosial mengajarkan hal buruk dan negatif. Kesalahannya hanya pada soal memilih tokoh agama yang diikuti.
Memang belajar agama secara langsung kepada seorang kyai ataupun ulama sangat lebih dianjurkan dari pada belajar agama melalui media dengan pemahaman instan. Namun begitu, karena kondisi tertentu, belajar, mengaji, mengambil ilmu dan hikmah dari wadah manapun sah-sah saja.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Ambillah hikmah, sebab hikmah tidak akan membahayakanmu dari wadah mana saja ia berasal”. (HR. Dailami).
Hadis ini memberi penegasan bahwa umat Islam boleh belajar, mengaji, mengambil ilmu dan dan bentuk pembelajaran ilmu agama yang lain dari sumber mana saja seperti televisi, Facebook, YouTube dan media yang lain. Walaupun tentu saja keutamaannya tidak sebanding dengan belajar secara langsung kepada seorang guru.
Sebab pada masa Nabi, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama salaf dalam menuntut ilmu duduk dalam satu majlis bersama gurunya. Saling berhadap-hadapan. Di samping itu, dengan cara duduk bersama dalam satu majlis secara otomatis tercipta proses terjalinnya ketersambungan ilmu yang populer disebut dengan istilah sanad keilmuan.
Dengan demikian, apa yang dilakukan Satrio Katon Nugroho dengan aksi vandalismenya bukanlah murni dari efek belajar ilmu agama dari YouTube atau dari media sosial lainnya. Sebab secara hukum agama proses pembelajaran tersebut tidak salah. Hanya nilai manfaatnya saja yang tidak sebanding dengan cara belajar langsung bertemu dengan guru, kyai dan ulama.
Sesat pikir dari aksi vandalisme ini lebih karena kesalahan memilih guru. Di media saat ini, munculnya ustad gadungan, kyai palsu, atau mereka yang mengaku ulama bukan hal baru lagi. Tak terhitung para da’i yang hanya bermodalkan popularitas namun kosong kapasitas dan kualitas ilmu agamanya.
Lebih parah lagi, munculnya para penceramah yang non Ahlussunah Waljama’ah dan kerap mengajarkan paham sesat. Menuduh bid’ah, kafir dan murtad terhadap kelompok muslim yang lain. Konten ceramah yang demikian kerap bukan menyatukan persaudaraan umat, tetapi justru memecah belah persatuan.
Karena itulah, penting bagi muslim milenial saat ini untuk lebih memfilter pengajaran dan pengetahuan agama di internet. Belajar agama di manapun tentu sah-sah saja, asal mampu membandingkan dan mendalami. Bukan mematok satu-satunya kebenaran yang cenderung doktriner.
Belajar agama bukan saja ingin menambah ilmu agama, tetapi juga akhlak yang baik. Pengajaran akhlak inilah yang bisa dicari dari ilmu-ilmu hikmah yang dapat menuntun pribadi muslim taat ibadah sekaligus taat secara aturan sosial dan berbangsa.