bayar utang
bayar utang

Bingung Membayar Utang kepada Pemberi Utang yang Sudah Tidak Ada?

Sebagai mahluk sosial, maka setiap manusia pastinya membutuhkan bantuan manusia lainnya untuk mempertahankan hidupnya. Termasuk salah satunya masalah hutang piutang. Kebutuhan yang mendesak memaksa seseorang untuk terpaksa meminjam uang atau barang kepada orang yang lebih mampu darinya.

Dalam ajaran Islam berutang itu boleh, tapi pemilik hutang harus berhati-hati, karena hutang merupakan salah satu kewajiban bagi seseorang yang harus dibayar pada pemiliknya. Hutang tergolong sebagai haqqul adami (tanggung jawab kepada sesama manusia). Sampai kapan pun tanggungan utang tidak dapat gugur kecuali dengan cara membayarnya atau meminta kerelaannya.

Rasulullah Saw bersabda :

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.

Lalu, bagaimana jika si pemilik utang tak bisa bertemu dengan pemberi utang, atau bahkan kehilangan kontak, padahal pemilik utang ingin melunasinya?

Mengembalikan barang atau harta orang lain bisa dilakukan dengan tiga cara, yaitu

1. Mengembalikan kepada pemilik langsung

Tidak jadi masalah apabila ketika seorang pemilik hutang akan membayarkan hutangnya langsung kepada pemberi hutang. Namun, apabila penerima hutang hilang komunikasi dan tidak tau cara menemukan alamat s ipemberi hutang, maka hendaknya pemilik hutang mencari informasi kepada orang yang dahulu dikenalnya. Dan jika tetap tidak menemukannya maka,

2. Mengembalikan kepada ahli waris

Pemilik hutang wajib mencari tahu siapa ahli waris si pemberi hutang. Dengan memberikan kepada ahli warisnya hutang itu sudah dianggap lunas jika memang sulit untuk menemui langsung atau yang bersangkutan sudah meninggal.

Persoalannya, bagaimana jika tidak ada satupun informasi yang bisa didapatkan tentang pemberi hutang? Kemana kita harus membayarkannya padahal hutang adalah tanggungan yang tidak bisa dihapus dengan memohon ampun kepada Allah. Maka perlu menempuh cara yang ketiga.

3. Mengembalikan dalam bentuk pahala.

Jika pemilik hutang tidak mengetahui di mana keberadaan pemberi hutang ataupun ahli warisnya, maka si pemilik hutang hendaknya bersedekah sebagai ganti dari utang itu dengan mengatasnamakan nama si pemberi hutang, yang berarti bahwa sedekah yang ia lakukan ia niati sebagai ganti dari tanggungan hutang miliknya dan pahala sedekah diperuntukkan kepada orang yang memberinya hutang.

Dikutip oleh Syekh Sulaiman al-Jamal:

ثم رأيت في منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التي بين العباد إما في المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجزعن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه في أني رضيه عنه يوم القيامة. اهــ

Artinya, “Kemudian aku melihat dalam kitab Minhaj al-‘Aabidin karya al-Ghazali dijelaskan bahwa dosa yang terjadi antar-sesama hamba-hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda dan wajib mengembalikan harta tersebut (pada pemilik harta) bila memungkinkan. Jika ia tidak mampu membayar karena fakir maka ia harus meminta kehalalan (kerelaan akan utangnya) darinya. Bila tidak mampu meminta kehalalan karena pemilik harta tidak diketahui keberadaannya atau karena telah meninggal dunia tapi masih mampu untuk bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya. Dan bila masih tidak mampu bersedekah, maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri di hadapan-Nya agar kelak di hari kiamat Allah meridhai beban tanggungan harta (yang masih belum terlunaskan).” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Manhaj, Juz 5, Hal. 388)

Dapat diketahui, cara membayar hutang kepada pemberi hutang yang sudah tidak ketahui keberadaannya, maka, dengan bersedekah sesuai dengan nominal tanggungan utang yang ia miliki. Maka, utang yang pemilik hutang miliki mampu dianggap lunas karena telah ganti dari tanggungan utangnya serta pahala sedekah ditujukan kepada orang yang memberinya utang.

Karena itulah, berhutang bukan hal sepele karena harus dipenuhi dan dilunasi. Sampai kapanpun tanggungan hutang itu tetap melekat sebagai kewajiban hingga dilunasi. Rasulullah Saw bersabda:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ

“Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi.”

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …