Tuduhan kepada ulama imam madzhab fikih selalu mengalir deras dari sebagian kecil kelompok umat Islam sendiri. Mulai dari klaim pendapat mereka yang menyimpang dari pondasi al Qur’an dan hadis, hanya berdasar rasionalitas dan seterusnya.
Dentuman keras anjuran untuk tidak bermadzhab dan kembali pada al Qur’an dan hadis terpekik hebat seolah menjadi ladang jihad modern. Mereka menjadi sangat apriori seolah ijtihad dan jasa besar imam madzhab bukan didasarkan pada sumber al-Quran dan Hadist.
Melihat fenomena semacam ini, Imam Sya’rani pengarang kitab fikih perbandingan madhab, al Mizan al Kubra, menegaskan bahwa para imam madzhab ‘ala hudan min rabbihim (sesuai dengan petunjuk Allah) dan semua pendapat mereka sesuai dengan esensi syariat (‘ain al syari’ah).Kesimpulan ini beliau ungkapkan setelah sebelumnya, dalam waktu yang cukup lama, melakukan studi analisis dan penelitian yang komprehensif terhadap pendapat para imam madzhab.
Semua pendapat mereka benar meskipun tidak sama. Hal ini muaranya kembali pada soal al Takhfif wa al Tasydid, berat dan ringan. Sesuai dengan fitrah alamiah manusia, ada yang kuat ada yang lemah. Dan sesuai dengan misi agama Islam yang tidak hendak membuat sulit pemeluknya.
Untuk membuktikan validitas pendapat para imam Madzhab, layak kita mendengar komentar mereka tentang pola beragama yang hanya didasarkan pada rumus pikir nalar akal saja.
Imam Abu Hanifah
Dalam kitab yang sama Imam Sya’rani menukil dari syekh Muhyiddin, Imam Abu Hanifah menyatakan, pendapat yang hanya berdasar akal wajib dihindari dan tidak boleh dilakukan. Umat Islam harus ikut pada Sunnah kalau tidak ingin tersesat.
Tidak boleh menyatakan suatu pendapat kecuali telah diketahui secara pasti bahwa pendapat tersebut sesuai dan selaras dengan sendi-sendi syariat Islam. Menurutnya, andai tidak ada hadis maka tidak akan pernah ada seorangpun yang akan mampu memahami al Qur’an secara utuh.
Imam Malik bin Anas
Ulama ahli hadis dan fikih ini sangat menekankan untuk menghindari pendapat seseorang kecuali telah disepakati oleh para ulama salaf maupun khalaf. Apabila ada hadis yang maknanya tidak bisa dipahami, satu-satunya jalan adalah menyerahkan atau mengikuti keterangan para ulama dan tidak boleh diperpanjang lagi pembahasannya.
Kepada murid-muridnya Imam Malik berpesan supaya melakukan penelitian ulang terhadap pendapat siapapun, dan siapapun yang berpendapat bisa diterima dan ditolak kecuali pendapat Rasulullah.
Imam Syafi’i
Setiap pendapat menjadi gugur bilamana bertentangan dengan hadis Nabi. Pendapat Nabi adalah mutlak kebenarannya, sementara pendapat pribadi ataupun qiyas (analogi) tidak akan pernah bisa disejajarkan dengan hadis. Sebab Allah sendiri yang menegaskan untuk menjadikan hadis sebagai sumber primer kedua setelah al Qur’an.
Imam Ahmad bin Hanbal
Putra Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah, suatu ketika bertanya kepada sang ayah, siapa yang harus diikuti jika di suatu daerah ada ahli hadis namun kualitasnya diragukan dan ahlul ra’yi. Beliau menjawab, “ikutilah ahli hadis dan tinggalkan ahlul ra’yi. Bahkan menurut beliau, hadis dhaif lebih baik dari pendapat pribadi.
Simpulan keterangan di atas, para imam madhab membangun hukum fikih di atas pondasi dan esensi syariat Islam bukan berdasar nalar rasional belaka. Sebagaimana sahabat dan tabi’in, ushul al istinbath (prinsip-prinsip dalam merumuskan hukum) yang digunakan oleh para imam madhab selalu mengacu pada dua sumber primer al Qur’an dan hadis.
Sebagai penutup, layak kita dengar ungkapan guru spiritual Imam Sya’rani, Syekh Ali al Khawwash, umat Islam (muqallid) wajib menjaga adab dan tatakrama kepada para imam madhab yang telah memberi jalan termudah untuk memahami al Qur’an dan hadis melalui madhab fikihnya. Dan, menurut Imam Sya’rani, “Hanya orang bodoh yang menilai para imam madzhab secara sembarangan dan tuduhan negatif”.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah