Baru saja media digemparkan ulah oknum tak bertanggung jawab soal Klepon tak Islami. Lagi-lagi, seorang “ngustad media” bernama Erwandi Tarmizi menyebut hukum haram menggunakan jasa antar makanan seperti Go Food, jasa layanan antar milik Gojek.
Entah, karena keawamannya atau memang telah tersusun gerakan untuk mencoreng wajah Islam dari dalam. Tak hentinya mereka melakukan propaganda “ijtihad keblinger” yang jauh menyimpang dari susunan fikih empat madhab. Asal-asalan dan blepotan. Pada tingkat tertentu justru menyesatkan.
Alasan haramnya Go Food menurutnya sebab ada dua transaksi dalam satu akad. Dalil digunakan dengan berdasar pada hadis Nabi yang menyebutkan istilah shafqatain fi shafqatin, bay’ataini fi bay’atin, dan biya’un wa salafun.
Tampaknya, mereka yang mengharamkan berpijak pada makna hadis bai’un wa salafun. Sebab menurut mereka, pada Go Food terdapat unsur hutang piutang (qardhu) dan jual beli yang dijadikan satu paket.
Apakah memang benar seperti itu? Untuk mengetahui hukum Go Food secara detail harus berangkat dari pemahaman para ulama ketika menafsirkan hadis yang terkait dengan praktek tersebut. Seperti penjelasan Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni.
Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Nabi telah melarang mengambil laba selagi tidak dijamin, jual beli selagi belum diterima, dua akad jual beli dalam satu transaksi pembelian, dua syarat dalam transaksi pembelian dan dari menggabungkan jual beli dan hutang (HR. Abu Daud dan Turmudzi. Menurut keduanya hadis ini hasan shahih).
Dalam redaksi hadis yang lain menyebutkan, “Tidak halal transaksi jual beli dan memesan”. (Mengapa demikian)?. Karena dalam akad seperti ini pihak penjual seolah mensyaratkan suatu akad dalam rupa akad lain yang fasid, seolah seperti dua jual beli dalam satu transaksi. Dalam transaksi model ini, adanya hutang piutang (qardhu) dapat dijadikan alasan oleh penjual untuk menaikkan harga sehingga menjadi harga baru sebagai upah (‘iwad) dari qardhu dan laba. Tak diragukan lagi, ia adalah riba yang diharamkan sehingga rusak (fasad).
Masih menurut Ibnu Qudamah dalam kitab yang sama, menurutnya akad tersebut rusak (fasid) dan tidak sah. Sama dengan orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham.
Akan tetapi, Ibnu Qudamah membedakan bai’atain fi bai’atin dengan bai’ ‘innah, yaitu pembeli membeli barang kepada pedagang secara kredit dan menjualnya kembali pada pedagang tersebut secara kontan. Meskipun bai’ ‘innah ini boleh menurut madhab Syafi’i dan haram menurut madhab yang lain, tapi teks hadis di atas tidak bicara soal ini. Jadi, mengharamkan Go Food berdasar hadis di atas salah tempat.
Sebagaimana maklum, pada aplikasi Go Food, harga barang telah diketahui, dan harga upah antar (ujrah) Gojek juga telah diketahui pula. Oleh karena itu, transaksi ini dalam fikih halal. Demikian juga transaksi online yang sejenis.
Muhammad Musthafa al Zuhaili dalam karyanya Qawa’id al Fiqhiyyah wa Thatbiqatuha fi al Madahib al Arba’ah menjelaskan, yang diperhatikan dalam akad adalah tujuan dan maknanya, bukan pada lafad dan bentuknya.
Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Sayyid Ahmad bin Umar al Syatiri dalam karyanya Syarh Yaqut al Nafis, pertimbangan utama dalam akad adalah maknanya, bukan gambaran lafadznya. Oleh karena itu, transaksi jual beli dengan media telepon, telegram dan semua media modern lainnya yang menjadi alternatif pilihan yang acap kali digunakan saat ini adalah boleh.
Sedangkan masalah hutang piutang (qardhu) dalam akad Go Food tidak masalah karena ada janji dari pihak pemesan untuk membayarnya. Bolehnya akad seperti ini cantum dengan jelas dalam bai’ bi al wa’di li al syira’ atau transaksi jual beli (pesanan) disertai janji untuk membeli atau membayarnya.
Metode dan instrument dalam muamalah akan terus berkembang. Tentu dalam perkembangan itulah, Islam tidak akan merepotkan dan menyempitkan umatnya. Pada prakteknya sesungguhnya muamalah dalam Islam senyampang tidak membuat kerugian satu pihak dan dilakukan dengan saling suka rela adalah diperbolehkan.
Sekali lagi tentu ustadz dan da’i harus cukup cermat. Bedakan pula antara berdakwah dengan memberi fatwa. Ranah ini cukup berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan. Tidak semua ustadz dan da’i bisa melempar fatwa hukum apalagi dengan kadar keilmuan yang belum pantas untuk menjadi mufti apalagi mujtahid.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah