makna allahu akbar
allahu akbar

Ahlussunnah Wal Jamaah Mensifati Allah Swt dengan Sifat Makhluk, Benarkah ?

Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan 20 sifat yang wajib bagi Allah. Di samping itu Ahlussunnah wal Jama’ah juga menafikan sifat-sifat jisim pada Allah swt. Bahkan Ahlussunnah wal Jama’ah mengkritik keras terhadap orang-orang yang mensifati Allah swt dengan sifat jisim, seperti sifat duduk, berdiam, berarah, turun dan sifat-sifat jisim lainnya. Karena mensifati Allah swt dengan sifat-sifat jisim, berarti menolak firman Allah swt:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ

Artinya: “Tidak ada yang semisal dengan Allah” (QS. As Syuro: 11)

Termasuk di antara yang mensifati Allah swt dengan sifat jisim yaitu Salafy Wahaby. Alasan mensifati Allah swt dengan sifat jisim karena menyerupakan Allah swt dengan makhluknya ini menjadi senjata balik bagi Ahlussunnah wal Jama’ah.

Di sinilah puncak persoalannya. Salafy Wahaby mengkritik balik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianggap tidak konsisten atas aqidahnya karena di sisi lain Ahlussunnah wal Jama’ah juga mensifati Allah swt dengan sifat manusia dengan tanpa mentakwil ayat-ayat yang menjelaskan sifat tersebut, seperti sifat mendengar, mengetahui, berbicara dan berkehendak. Padahal sifat-sifat ini juga wujud pada manusia. Akan tetapi ketika Allah swt disifati dengan sifat bersemayam atau turun dari langit, sifat itu ditolak dan harus ditakwil.

Di antara ulama’ Salafy Wahaby yang mengkritik tentang hal tersebut adalah Ibn Taimiyah dengan cara mengaburkan konsep Asy’ariyah dengan konsep tajsimiyah miliknya. Ibn Taimiyah berkata:

فَإِذَا قِيْلَ: سَمْعُهُ لَيْسَ كَسَمْعِنَا وَبَصَرُهُ لَيْسَ كَبَصَرِنَا وَإِرَادَتُهُ لَيْسَتْ كَإِرَادَتِنَا وَكَذَلِكَ عِلْمُهُ وَقُدْرَتُهُ. قِيْلَ لَهُ وَكَذَلِكَ رِضَاهُ لَيْسَ كَرِضَانَا وَغَضَبُهُ لَيْسَ كَغَضَبِنَا وَفَرَحُهُ لَيْسَ كَفَرَحِنَا وَنُزُوْلُهُ وَاسْتِوَاؤُهُ لَيْسَ كَنُزُوْلِنَا وَاسْتِوَائِنَا

Artinya: “Kalau dikatakan bawah mendengarnya Allah swt tidak sama dengan mendengarnya kita, melihatnya Allah swt tidak sama dengan melihatnya kita, berkehendaknya Allah swt tidak sama dengan berkehendaknya kita, begitu juga mengetahuinya Allah swt dan kuasanya (tidak sama dengan mengetahui dan kuasanya kita), maka dikatakan padanya: Begitu juga ridhanya Allah swt tidak sama dengan ridhanya kita, marahnya Allah swt tidak sama dengan marahnya kita, bahagianya Allah swt tidak sama dengan bahagianya kita, turun dan bersemayamnya Allah swt tidak sama dengan turun dan bersemayamnya kita”[1]

Maksud dari Ibn Taimiyah di sini mau mengatakan seandainya ditetapkan memiliki sifat mendengar, melihat dan mengetahui yang tidak sama mendengar, melihat dan mengetahuinya dengan kita, sebagaimana diyakini oleh Ahlussunnah wal Jama’ah, lalu apa salahnya seandainya mensifati Allah swt bersemayam di Arsy atau turun dari langit dalam sepertiga malam, dengan meyakini bersemayam dan turunnya Allah swt tidak sama dengan bersemayam dan turunnya makhluk ?.

Bagaimana Ahlussunnah wal Jama’ah menanggapi kritik tersebut ?

Perlu dibedakan antara sifat jismi dengan sifat maknawi. Bersemayam, duduk atau nuzul ini adalah sifat-sifat jismi. Karena tidak bisa dikatakan bersemayam jika tidak ada benda yang berada di suatu tempat. Tidak bisa dikatakan nuzul jika tidak ada benda dari atas menuju ke bawah, dan juga tidak bisa dikatakan duduk jika tidak ada pantat. Jika sifat-sifat ini ditetapkan pada diri Allah swt, maka secara otomatis akan berkesimpulan Alllah swt berjisim.

Berbeda dengan sifat maknawi, seperti berbicara, tidak pasti harus ada jisim yang melekat atau gelombang suara. Terbukti ayat-ayat al Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw tidak membutuhkan gelombang suara atau jisim lainnya. Begitu juga mengetahuinya Allah swt terhadap apapun, tidak harus terikat dengan akal sebagaimana manusia. Terbukti tidak ada satu ayat atau hadits yang menyatakan bahwa Allah swt memiliki otak sebagaimana manusia. Begitu juga sifat pengasih dan penyayang, tidak perlu ada perasaan yang muncul dari hati, karena tidak ada satu nash pun yang menyatakan Allah swt memiliki perasaan.

Sebab itu, sifat-sifat maknawi tidak perlu ditakwil dengan makna lain. Karena sifat maknawi menjadi sifat kesempurnaan pada Allah swt sendiri. Dan dengan sifat maknawi ini, tidak kemudian Allah swt sama dengan makhluknya.

Dr. Abu Zahroh berkata: “Kita mengatakan bahwa pengucapan nama qudrah (kuasa) pada sifat Allah swt tidak membuat adanya keserupaan (dengan makhluk), dan qudrah bukan anggota bada seperti tangan hingga bisa kita katakan arti lahiriyahnya adalah lahiriyahnya tangan. Akan tetapi qudrah dan iradah (berkehendak) adalah hal yang bersifat maknawi sehingga bisa saja menjadi jelas arti yang sempurna dan tidak sempurna. Qudrah Allah swt adalah yang sempurna sementara qudrahnya manusia memiliki banyak kekurangan”

Kesimpulannya, ayat atau hadits yang menjelaskan tentang sifat Allah swt yang ditakwil oleh Ahlussunnah wal Jama’ah hanya pada sifat jismi. Sementara pada sifat maknawi, Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mentakwil karena sifat maknawi merupakan kesempurnaan pada Allah swt dan tidak menjadikan cacat kepada Allah swt.

Wallahu a’lam


[1] Ibn Taimiyah, Syarh Hadits Nuzul, Hal 22

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

al quran hadits

Bolehkah Menerima Hadits dari Perawi Syiah ?

Di dalam menilai kredibilitas suatu hadits, maka dapat dilihat dari dua aspek; Pertama, dari aspek …

rasulullah

Apakah Rasulullah Saw Pernah Berbuat Salah ?

Ulama’ Salaf dan Khalaf sepakat bahwa Nabi Muhammad saw adalah sosok manusia yang ma’shum (terjaga), …