halalan tayyiban
gaya hidup halal

Fikih Pangan (2): Kriteria Hewan Darat yang Layak Konsumsi dalam Islam

Artikel ini melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang status hukum hewan atau binatang yang diklasifikasi berdasarkan habitat kehidupannya. Dalam ulasan sebelumnya telah dibahas secara detail tentang klasifikasi hewan yang pertama, binatang air (al-hayawan al-ma’iy) dengan berbagai jenisnya disertai hukum mengkonsumsinya.

Untuk klasifikasi yang kedua tentang hewan darat (al-hayawan al-barriy), yakni hewan yang habitat kehidupannya di darat. Ia tidak bisa hidup dalam waktu yang lama dan berkembang biak kecuali di darat. Hewan macam kedua ini diklasifikasi lagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kandungan darah yang terdapat dalam tubuhnya.

Pertama, kelompok hewan yang tidak mempunyai darah, seperti belalang, lalat, semut, lebah, ulat, tawon, laba-laba, kumbang, kalajengking, kecoak, dan lain-lain. Semua jenis hewan ini haram dikonsumsi kecuali belalang, karena tergolong hewan kotor yang menjijikkan (khabaits) menurut pandangan orang yang berwatak normal (al-thiba’ al-salimah) pada umumnya.

Belalang termasuk salah satu jenis hewan yang boleh dikonsumsi tanpa harus disembelih terlebih dahulu sebagaimana disebutkan dalam hadis yang telah masyhur berikut ini:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْجَرَادُ وَالْحِيتَانُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالطِّحَالُ وَالْكَبِد

Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, adapun dua bangkai adalah belalang dan ikan, sedangkan dua darah adalah limpa dan hati/lever.” (Sunan Ibn Majah, No. 3439., Sunan al-Baihaqi, No. 20189).

Akan tetapi, ulama Malikiyah tetap mensyaratkan belalang harus disembelih atau dimatikan terlebih dulu sebelum dikonsumsi, semisal diputus bagian anggota tubuhnya, dibakar, atau direbus dalam air mendidih. Sebab, menurut Malikiyah semua jenis binatang darat yang tidak memiliki darah mengalir tetap harus disembelih sebelum dikonsumsi. Sementara menurut ulama Hanabilah makruh hukumnya menelan belalang hidup-hidup, demikian juga menelan ikan, karena dikategorikan perbuatan yang menyiksa binatang. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. II, 1985), III/681). 

Kedua, kelompok hewan yang mempunyai darah tidak mengalir. Hewan ini berdarah, tetapi tidak sampai mengalir, hanya berupa bercak-bercak darah ketika tubuhnya dibelah atau terluka. Seperti ular, cecak, tokek, semua jenis serangga, binatang hama tanah, semisal tikus, kadal, biawak, landak, musang, dan lain-lain. Jenis hewan ini haram dikonsumsi karena kotor dan menjijikkan dan sebagian ada yang berbisa. Namun, ulama jumhur selain Hanafiyah, membolehkan mengkonsumsi biawak berdasarkan pengakuan (iqrar) Nabi terhadap sahabat Khalid bin Walid yang memakan biawak di hadapan beliau, dan Nabi diam-diam saja tidak melarangnya. Sedangkn menurut Hanafiyah biawak haram.

Sementara bekicot, menurut ulama Malikiyah, boleh dikonsumsi dengan syarat harus direbus atau dipanggang. Tetapi, jika mati sendiri tanpa diketahui penyebabnya, tidak boleh dikonsumsi. Ulama Syafi’iyah membolehkan mengkonsumsi landak, musang, rubah, dan berang-berang. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. II, 1985), III/682., Muhammad al-Zuhaili, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’iy, (Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. III, 2011), II/552-553). 

Ketiga, kelompok hewan yang mempunyai darah mengalir. Jenis hewan ini terbagi dalam dua kategori, ada yang jinak dan ada yang liar. Untuk jenis hewan jinak yang termasuk hewan ternak, seperti unta, sapi, dan kambing, ulama sepakat halal dikonsumsi dengan cara disembelih secara syar’i. Dasar yang digunakan adalah ayat Al-Qur’an, di antaranya:

أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ

Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu…” (QS. Al-Maidah/5: 1).

Menurut tinjauan etimologi kata al-an’am (hewan ternak) menunjuk pada tiga jenis hewan di atas. Keledai dan bagal (peranakan keledai, hasil perkawinan kuda jantan dengan keledai betina) haram dikonsumsi. Sedangkan daging kuda halal, namun menurut Hanafiyah hukum mengkonsumsi daging kuda adalah makruh yang mendekati haram. Alasan mereka karena kuda dijadikan sebagai kendaraan dan digunakan untuk berperang, di samping hadis-hadis yang terkait dengan kuda masih simpang siur status hukumnya. (Muhammad al-Zuhaili, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’iy, (Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. III, 2011), II/550).   

Berdasarkan konsensus ulama (baca: ijma’) jenis burung jinak, tidak buas, yang tidak memiliki kuku halal dikonsumsi. Hewan ini termasuk dalam kategori jenis hewan unggas, seperti ayam, burung onta, burung dara, dan bebek. Sementara hewan jinak yang buas, seperti anjing dan kucing haram dikonsumsi. Sementara untuk jenis hewan buas yang bertaring dan jenis burung yang memiliki cakar dan kuku tajam dihukumi haram, menurut ulama jumhur selain Malikiyah. Seperti harimau, singa, macam tultul, anjing hutan, serigala, monyet, gajah, beruang, burung elang, rajawali, burung hantu, burung gagak, dan lain-lain, karena jenis hewan ini memakan dan memangsa bangkai. [bersambung].

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …