mufasir dari masa ke masa
mufasir dari masa ke masa

Mengenal Mufasir dari Masa ke Masa (II)

Mufasir Generasi Tabi’in

Generasi selanjutnya pasca generasi pertama (para sahabat) adalah generasi tabi’in. Generasi tabi’in merupakan generasi kedua yang memegang misi dan meneruskan pemahaman tafsir Al-Qur’an yang mereka terima langsung dari para sahabat

Pedoman mereka tetap sama dengan generasi pertama dalam menafsirkan Al-Qur’an, ditambah dengan ijtihad yang mereka lakukan. Secara hirarkis corak tafsir yang mereka pedomani dimulai dari tafsir ayat dengan ayat, tafsir ayat dengan hadis Nabi, tafsir ayat dengan hasil ijtihad para sahabat, lalu jika tidak dijumpai dalam tiga urutan tadi mereka melakukan ijtihad sendiri. 

Sebagaimana maklum bahwa tafsir terhadap Al-Qur’an yang bersumber dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup seluruh ayat Al-Qur’an. Tafsir dilakukan hanya terhadap ayat-ayat yang masih belum jelas pada masa itu. 

Ketidakjelasan itu secara berangsur semakin bertambah seiring rentang waktu yang berjarak antara Rasulullah dengan generasi setelahnya. Oleh karena itu, mufasir generasi tabi’in harus mampu menutupi celah yang belum tersentuh oleh pemahaman tafsir sebelumnya sesuai konteks yang mereka hadapi di masanya.

Ketika Islam melakukan ekspansi ke beberapa daerah dan banyak sahabat yang eksodus dan bertugas di kota-kota taklukan. Kemudian muncul di masing-masing kota forum-forum pengkajian tafsir yang dilakukan para sahabat, sehingga mencetak mufasir-mufasir generasi tabi’in. 

Di kota Mekah, misalnya, muncul madrasah Ibnu Abbas dengan murid-muridnya yang masyhur sebagai mufasir generasi tabi’in di antaranya: Sa’id bin Jabir, Mujahid, Ikrimah, Thaus bin Kisan al-Yamani, dan Atha’ bin Abi Rubah.

Di kota Madinah muncul Ubay bin Ka’ab dan muridnya dari kalangan tabi’in yang masyhur adalah Zaid bin Aslam, Abu al-‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi. 

Di Irak muncul madrasah Ibnu Mas’ud yang dianggap sebagai cikal bakal aliran ahl al-ra’yi. Dari madrasah ini muncul mufasir generasi tabi’in yang masyhur yaitu, ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Marrah al-Hamadani, ‘Amir al-Sya’bi, Hasan al-Bashri, dan Qatadah bin Da’amah al-Sadusi.

Merekalah para mufasir generasi tabi’in yang populer di beberapa kota kekuasaan Islam. Dari tangan mereka muncul generasi mufasir tabiit tabi’in yang menjadi murid dan mewarisi keilmuan yang terus bersambung hingga sekarang. 

Kalangan ulama’ tafsir berbeda pendapat soal produk tafsir yang merupakan buah pemikiran tabi’in. Apakah penafsiran mereka dapat dijadikan pedoman ataukah tidak?

Sebagian mufasir berpendapat bahwa tafsir mereka tidak bisa dibuat pegangan, karena mereka bukan saksi sejarah turunnya Al-Qur’an. Hal ini memberikan peluang untuk salah dalam menafsirkan. Namun, mayoritas mufasir berpendapat bahwa tafsir tabi’in dapat dijadikan pedoman, karena umumnya mereka bertemu langsung dengan sahabat. 

Pada masa tabi’in ini, validitas tafsir masih terjaga melalui periwayatan dan  bertatap muka secara langusng dengan para sahabat. Namun, di masa ini pula terjadi penukilan kisah-kisah israiliyat yang mulai masuk dalam karya-karya tafsir setelah para ahlul kitab banyak memeluk agama Islam. Seperti riwayat yang datang dari Abdullah bin Salam dan Ka’b al-Ahbar, dan Wahab bin Munabbah, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. 

Masa Kodifikasi Tafsir

Kodifikasi tafsir terjadi di akhir kekhalifahan Bani Umayyah dan memasuki awal khalifah Bani Abbasiyah. Pada awalnya, tafsir ini merupakan bagian dari kodifikasi hadis, banyak kalangan yang mempunyai perhatian dan konsen dengan periwayatan tafsir yang dihubungkan dengan Rasulullah, para sahabat, dan tabi’in di samping antusiasme mereka untuk mengumpulkan hadis. 

Mereka yang konsen di jalur ini antara lain adalah Yazid bin Harun (w. 117 H.), Sya’bah bin Hujaj (w. 160 H.), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H.), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H.), Ruh bin Ubadah al-Bashri (w. 205 H.), Abdur Razaq bin Himam (w. 211 H.), Adam bin Abi Iyas (w. 220 H.), dan Abd bin Hamid (w. 249 H.). 

Tafsir karya mereka ini satupun tidak ada yang sampai kepada kita, kecuali berbentuk riwayat yang disandarkan kepada mereka dalam karya-karya tafsir bil ma’tsur. Pada masa ini tafsir tidak berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu, sehingga tidak ditemukan karya tafsir yang runtut surat persurat, ayat demi ayat dari awal sampai akhir.

Setelah itu baru muncul tokoh yang memisahkan tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri yang terpisah dari hadis. Lalu muncul karya tafsir sesuai urutan mushaf seperti yang ditulis oleh Ibnu Majah (w. 273 H.), Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H.), Abu Bakar bin Mundzir al-Nisaburi (w. 318 H.), Ibnu Abi Hatim (w. 327 H.), Abu al-Syekh bin Hibban (w. 369 H.), Hakim (w. 405 H.), Abu Bakar bin Mardawiyah (w. 410 H.). 

Corak tafsir mereka berbentuk periwayatan dari Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan tabiit tabi’in yang terkadang disertai tarjih terhadap beberapa pendapat, menggali sebagian hukum, menampilkan i’rab di tempat-tempat yang dibutuhkan sebagaimana yang dilakukan al-Thabari dalam tafsirnya. [] 

Wallahu ‘alam

Referensi:

Manna’ al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Riyadl: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits), 1973.

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …