Pada artikel sebelumnya telah dibahas para mufasir periode sahabat, periode tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Berpijak pada ulasan tersebut dapat dibuat klasifikasi generasi berdasarkan kategori model dan corak yang mewarnai perjalanan tafsir dari generasi ke generasi.
Pada masa tiga generasi pertama, yakni generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’it abi’in, model tafsir yang berkembang cenderung seragam, masih konsis dengan metode tafsir bil ma’tsur dengan bertumpu pada riwayat yang bersumber dari Rasulullah, para sahabat, tabi’in, dan tabiit tabi’in.
Adalah Ibnu Jarir al-Thabari yang mencoba ‘keluar’ dari pakem tafsir sebelumnya dan generasi semasanya. Sebagaimana yang dijelaskan pada artikel sebelumnya corak kitab tafsir yang ditulis Al-Thabari tidak hanya memuat riwayat semata, tetapi sudah mulai menghimpun beberapa pendapat dan men-tarjih-nya (memilih dan mengunggulkan satu pendapat),menyelipkan i’rab dan proses produksi hukum (istinbath al-ahkam).
Pasca Al-Thabari muncul generasi mufasir yang menulis tafsir agak tebal karena memuat faidah-faidah yang dinukil dari generasi sebelumnya. Seperti tafsir yang ditulis oleh Abu Ishaq al-Zajjaj, Abu Ali al-Farisi, Abu Bakar al-Naqqasy, Abu Ja’far al-Nuhas, dan Abu Abbas al-Mahdawi.
Kemudian muncul karya tafsir ulama’ mutaakhirin, karya ini tetap memelihara tradisi lama, yakni tidak melampaui tafsir riwayat, namun memangkas sebagian transmisi periwayatan dan menghimpun banyak pendapat tanpa menyebutkan siapa sumbernya. Dengan demikian, persoalan tafsir menjadi rancu, tidak bisa dibedakan mana pendapat shahih dan mana pendapat yang tidak shahih.
Perkembangan selanjutnya, muncul corak tafsir yang sesuai bidang keahlian yang dimiliki penulisnya. Ulama ahli nahwu menulis tafsir Al-Qur’an yang membahas dari aspek ilmu nahwu, seputar i’rab dan mengutip contoh-contoh bacaan yang beragam, menyelipkan kaidah nahwu, cabang-cabangnya, perbedaan seputar ilmu ini, seperti karya Abu Hayyan, Al-Bahr wa al-Nahr.
Ahli cerita hanya memiliki konsen terhadap kisah-kisah dalam Al-Qur’an dan cerita-cerita orang terdahulu tanpa seleksi kebenaran dan kepalsuan cerita tersebut, seperti al-Tsa’labi. Ahli fikih menulis tentang tafsir dari aspek fikihnya, seperti al-Qurthubi. Fakhr al-Din al-Razi memenuhi tafsirnya dengan perkataan para filsuf dan ilmu-ilmu aqliyah lainnya.
Kemudian muncul generasi pembaharu. Mereka mempunyai konsen terhadap keindahan redaksi dan susunan kalimat dalam Al-Qur’an. Di samping itu, juga memotret aspek sosial budaya dan pemikiran kontemporer serta aliran-aliran baru dalam Islam.
Tafsir corak ini memangkas sebagian riwayat dan memasukkan pendapat pribadi. Di antara tokohnya adalah Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad Mushthafa al-Maraghi, Sayyid Quthb, dan Muhammad Izzat Darwaza. []
Wallahu ‘alam
Referensi:
Manna’ al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Quran, (Riyadl: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits), 1973.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah