Setiap 17 Ramadhan selalu diperingati sebagai hari turunnya Al Quran. Peristiwa itu juga menandai peresmian dan penasbihan Muhammad sebagai seorang rasu. Sebagaimana agama samawi lainnya, kitab suci yang diturunkan Tuhan juga dibawa oleh para utusan Tuhan. Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa a.s., Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Dawud a.s. dan Nabi Ibrahim a.s. dengan sebutan Suhuf.
Ragam kitab dalam agama samawi tersebut juga merupakan bagian keyakinan dan keimanan yang harus dipegang oleh umat Islam. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 4. Keyakinan ummat Islam sebagaimana dalam ajaran tersebut menunjukkan bahwa mempercayai kitab-kitab Allah swt. sebagai salah satu bentuk keimanan yang jumlahnya sebanyak enam macam.
Sebagai kitab ajaran agama samawi terakhir, Al-Quran memberikan informasi beragam kitab terdahulu. Informasi tersebut juga didukung dengan beragam kisah-kisah lain yang bertujuan menunjukkan bahwa kesempurnaan ajaran Islam dibanding dengan ajaran sebelumnya.
Alquran sendiri diturunkan oleh Allah swt. melalui Malaikat Jibril a.s. atau dikenal ruh al-amin. Peristiwa ini dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 185 yaitu di Bulan Ramadhan dan peristiwa tersebut bertepatan pada malam lailatul qadar sebagaimana dalam QS. Al-Qadar (97): 1.
Informasi di atas kemudian melahirkan beragam pendapat atas turunnya Alquran. Setidaknya ada tiga teori dalam hal ini. Pertama Alquran turun ke langit dunia dari lauh mahfudz sekaligus dan kemudian diturunkan secara berangsur-angsur selama masa kehidupan Nabi Muhammad saw. membawa risalah Tuhan yakni 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Teori kedua Alquran diturunkan selama masa kenabian. Hal tersebut sesuai dengan masa awal sampai akhir yang memakan waktu 20 tahun lebih. Sedangkan teori ketiga adalah pada pertamanya Alquran diturunkan pada malam lailatul qadar. Selanjutnya, Alquran diturunkan sesuai kebutuhan dan dalam waktu yang berbeda-beda.
Lepas dari perbedaan pendapat tersebut, namun sejatinya yang harus dipahami bahwa al-Qur’an adalah mukjizat terbesar para Nabi yang hanya istimewa dimiliki oleh Rasulullah. Sebuah mukjizat yang tidak kenal waktu dan terus bertahan hingga akhir zaman. Dan Allah pun telah menyatakan janjinya untuk terus menjaga mukjizat ini dari perubahan dan kerusakan.
Selain sebagai mukjizat abadi, al-Quran juga dipahami sebagai pedoman yang selalu relevan dan kontektual sepanjang masa. Bukankah al-Qur’an diturunkan berada-abad yang lalu masihkah al-Quran selalu relevan dengan setiap zaman?
Tafsir Menjadikan Al-Quran Selalu Relevan
Ajaran Islam dalam Alquran merupakan pedoman umum yang dijelaskan secara terperinci oleh Muhammad saw. Dengan demikian Hadist Nabi yang berbicara untuk menjelaskan isi al-Qur’an dalam perkembangannya dijadikan sebagai tafsir atas Alquran. Atas dasar inilah mufassir awal dalam Islam adalah Nabi Muhammad saw.
Banyak ajaran Islam yang diambil dari Alquran tidak dapat serta merta bisa dipahami dan dilaksanakan tanpa ada penjelasan yang lebih detail. Misalnya ajaran shalat terkait waktu, rakaat, bacaan dan teknisnya yang diperoleh melalui contoh yang dilaksanakan Nabi saw. Hal tersebut juga berlaku pada ibadah lain seperti zakat dan haji.
Dalam perjalanan awal, model tafsir yang dijadikan contoh adalah pola yang diajarkan oleh Rasulullah saw. dan generasi berikutnya. Hal tersebut semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan umat manusia atasnya.
Alquran sebagai kitab suci umat Islam selalu dipahami secara kontekstual. Dalam sejarahnya kebutuhan akan hal ini melahirkan kitab-kitab tafsir yang sangat banyak dengan beragam coraknya. Kitab tafsir menjadi bagian dari ijtihad ulama tafsir yang menjadikan ajaran Islam dapat dilaksanakan dengan baik.
Pola pemahaman Alquran dalam sejarah dikenal dengan tafsir Alquran dan melahirkan ilmu Alquran yang di dalamnya menjelaskan pedomam dalam menafsirkan Alquran. Model awal tafsir ini adalah terkait sumber tafsir yakni dengan menggunakan riwayat dan kedua menggunakan ra’yu atau akal.
Tafsir Alquran hadir dalam sejarah perkembangan umat manusia sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Kenyataan tersebut melahirkan beragam bentuk dan corak tafsir Alquran itu yang terus berkembang dalam sejarahnya. Beragam aspek menjadi kajian ulama tafsir seperti aspek bahasa seperti ma’ani Alquran karya al-Farra’, aspek fiqih seperti al-Jami’ li Ahkam Alquran karya al-Qurthubi, aspek sufistik seperti Ruh al-Ma’ani karya dan aspek falsafi seperti Mafatih al-Gayb karya al-Razi.
Perkembangan berikutnya adalah kontekstualisasi tafsir atas ajaran Islam dengan menggunakan tema tertentu. Bentuk kajian ini lebih dikenal dengan tafsir tematik dengan beragam metodologi yang ada. Sehingga, tafsir Alquran tidak saja menggunakan model klasik yang terbatas menggunakan riwayat dan ra’yu dalam sumbernya melainkan telah berkembang dengan baik menggunakan beragam model tafsir yang dikembangkan oleh misalnya Syahrour, Muhammad Nasr Aby Zayd, Khalid Aboe Fadl, Jaseer Audah, Abdullah Saeed, Fazlur Rahman dan sebagainya.
Kajian-kajian tersebut dapat dilihat dalam trend kajian tafsir di Jurusan Tafsir Hadis (TH) dan Ilmu Alquran Dan Tafsir (IAT) di lingkup PTKI. Sebagai pengembangan keilmuan core studi Islam Alquran, dalam kajian prodi tersebut tidak saja mengembangkan kajian teks dalam tafsir Alquran melainkan juga mengembangkan kontekstualisasi tafsir di Indonesia lewat kajian living Alquran yang terjadi di masyarakat. Resepsi pemahaman di masyarakat atas Alquran dapat dikaji dengan baik dan merupakan bagian dari upaya melihat ajaran Islam sebagaimana dalam Alquran salih likulli zaman wa makan.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah