Di antara dalil yang dipaksa agar sesuai dengan selera pemahaman Salafi Wahabi adalah kisah Isra’ Mi’rajnya Nabi Muhammad saw. Dalam kitab Syarah al ‘Aqidah al Thahawiyah karya Ibn Jibrin, salah satu ulama Wahabi abad ini, menegaskan:
وَفِي حَدِيْثِ الْمِعْرَاجِ دَلِيْلٌ عَلَى ثُبُوْتِ صِفَةِ الْعُلُوِّ لِلّٰهِ تَعَالَى مِنْ وُجُوْهٍ لِمَنْ تَدَبَّرَهُ
Artinya: “Hadits Mi’rajnya Nabi saw adalah bukti bahwa terdapat sifat uluw (tinggi) bagi Allah swt dari segala arah bagi orang yang mau berpikir”[1]
Adapun hadits Mi’raj yang dimaksud oleh Wahaby adalah hadits mengenai kisah Nabi saw yang diangkat ke Sidrotul Muntaha untuk menerima tugas shalat lima waktu agar disampaikan kepada ummatnya. Hadits ini diriwayatkan oleh banyak perawi, diantaranya Anas bin Malik, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab radiyallahu ‘anhum dan juga sahabat-sahabat generasi awal lainnya. Sehingga menurut al Hafidz Abu al Khattab Umar bin Dihyah hadits ini sudah sampai pada tingkat mutawatir[2].
Mengenai hadits tersebut, Ahlussunnah wal Jama’ah sama sekali tidak mengingkarinya. Kejadian Isra’ Mi’roj memang benar-benar ada sebagaimana Allah swt menyebutkannya dalam al Qur’an yang kemudian diperinci kejadian-kejadian pada Isra’ Miraj tersebut dalam beberapa hadits. Menolak Isra’ Mi’raj yang jelas-jelas tercantum dalam dalam al Qur’an bisa berdampak kepada hukum kufur[3].
Hanya saja Ahlussunnah wal Jama’ah menolak penafsiran Salafy Wahaby yang menjadikan kisah Isra’ Mi’raj ini sebagai bukti bahwa Allah swt ada di arah atas, yaitu di atas langit atau pun di Arsy. Sebab kisah tersebut bukan mau menerangkan tempat Allah swt melakukan pertemuan dengan Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw diangkat sampai ke Sidratul Muntaha karena Allah swt ingin menunjukkan kekuasaannya kepada Nabi saw tentang adanya alam di luar alam yang sedang dijalani. Ibn Jama’ah mengatakan: “Maksud ayat tersebut (ayat 1 surat al Isra’) adalah untuk memperlihatkan kepada Nabi Muhammad saw terhadap macam-macam makhluk ciptaan Allah swt yang berada di alam lain, atas hingga bawah guna menyempurnakan sifat Nabi Muhammad saw dan realisasi dari penyaksian beliau terhadap ayat-ayat Allah swt”[4].
Baik ayat atau hadits tentang kisah Isra’ Mi’rajnya Nabi Muhamma saw tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa Allah swt menyampaikan amanah shalat kepada Nabi saw di suatu tempat tertentu. Tetapi pada kisah tersebut, menyampaikan bahwa Nabi saw melihat syurga dan neraka, bertemu dengan Nabi-Nabi sebelumnya, ini bukti bahwa kisah Mi’raj tidak bisa dijadikan bukti Allah swt bertempat di atas.
Jika kisah Mi’raj dipaksa sebagai bukti Allah swt berada di atas, maka yang demikian akan bertentangan dengan banyak ayat al Qur’an. Diantaranya:
فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ مِنْ شَاطِئِ الْوَادِ الْأَيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَنْ يَامُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al Qashas: 30)
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Hadid: 4)
Kedua ayat di atas tidak kalah kuatnya dalam status sebagai dalil dengan kisah Mi’raj. Namun kedua ayat di atas, sama sekali tidak menunjukkan Allah swt berada di langit. Pada ayat pertama, menunjukkan ada pada sebatang pohon kayu, dan pada ayat kedua, Allah swt selalu bersama kita. Lagi-lagi ini membuktikan Mi’rajnya Rasulullah saw bukan karena Allah swt berada di langit. Tetapi karena faktor lain. Karena Rasulullah saw sadar bahwa Allah swt suci dari segala arah.
Kemudian secara akal manusia, ketika umat Islam berangkat ibadah haji di antara niatnya adalah ingin menghadap Allah swt di Baitullah. Apakah kemudian ini akan dipahami bahwa Allah swt berada di dalam Ka’bah ? Adalah kesimpulan yang tidak rasional jika di jawab “Ya”.
Begitulah bagaimana lemahnya dalil Salafy Wahaby dalam membuktikan aqidahnya yang menyimpang tersebut. Sampai memaksakan ayat-ayat al Qur’an yang tidak sesuai fakta agar menjadi data benar sesuai selera dan keinginannya.
Wallahu a’lam
[1] Abdullah bin Abdi al Rahman al Jibrin, Syarh al Aqidah al Thahawiyah, Juz 2, Hal 15
[2] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Juz 5, Hal 45
[3] Syarf al Nawawi, Majmu’ Syarh al Muhaddzab, Juz 3, Hal 335
[4] Badruddin bin Jama’ah, Idhah al Dalil Fi Qath’i Hujaji Ahl al Ta’thil, Hal 134