islam dan pancasila
islam dan pancasila

Bagaimana Kalau Pancasila Itu Berasal dari Ijtihad Nabi?

Pertanyaan seperti itu sering terjadi untuk mengklaim bahwa Pancasila itu bukanlah produk Islam. Padahal paling tidak, produk yang berasal dari Nabi pun selalu mendapat kawalan ketat dari Allah, yang beberapa kali dibocorkan karena Nabi dinilai kurang tepat dalam memberikan keputusan. Tapi adakalanya Nabi juga menerima masukan dari ijtihad sahabat yang ia yakini lebih baik dari pendapatnya.

Pada intinya, posisi Nabi tetap sebagai seorang utusan Allah yang menyampaikan wahyu sebagai pedoman seluruh umat manusia (syari’at). Meskipun demikian, dalam berbagai ketetapan Nabi lebih memilih yang paaling akomodaatif. Sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Muhammad Alwi al-Hasani al-Makki dalam bukunya, Syariatullah al-Khalidah, bahwa ijtihad Nabi itu sangat lentur.

Sayyid Muhammad memberikan contoh saat Nabi berijtihad untuk menyiapkan perang Badr. Nabi berpendapat untuk tidak usah menguasai sumber air yang vital, supaya musuh pun dapat pula memanfaatkannya. Maka datanglah al-Khabbab ibn al-Mundzir bertanya, “Ini dari wahyu atau dari pendapat (ijtihad)?”

Lalu Nabi menjawab, “Pendapat”. Yaitu, karena beliau melakukan analogi bahwa menghalangi mereka (musuh) dari memperoleh air yang vital itu sama dengan menghalangi binatang dari air, sedangkan menyiksa binatang seperti itu tidaklah diperbolehkan. Padahal Nabi saw mempunyai naluri amat kuat untuk bersikap kasih kepada sesama hidup.

Kemudian al-Khabbab membalas, “Pendapat yang benar ialah kita harus menghalangi mereka (musuh) itu dari air yang vital ini, karena menghalangi mereka dari air termasuk taktik perang dan menjadi sebab kemenangan. Musuh dalam perang bukanlah orang yang harus dihormati sehingga tidak diperbolehkan dihalangi dari air”.

Menurut Sayyid Muhammad, yang dilakukan oleh Nabi itu termasuk pendekatan analogis, salah satu metode ijtihad yang amat penting untuk memhami hukum Islam. Sedangkan ijtihad Nabi yang kemudian mendatangkan tegurah dari Allah ialah yang terabadikan dalam Al-Qur’an surah at-Tahrim ayat 1, “Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah hanya untuk memperoleh kerelaan (kesenangan hati) istri-istrimu.”

Para penafsir klasik menuturkan tentang suatu kejadian bahwa Nabi suatu hari tinggal di rumah Mariyah, istri beliau yang berasal dari Mesir, karena murka kepada A’isyah atau Hafshah. Hal itu kemudian diketahui oleh Hafshah, lalu Hafshah pun marah kepada Nabi, sehingga demi menyenangkan hati Hafshah (anak Umar ibn al-Khaththab) Nabi berjanji dan mengharamkan berkumpul dengan Mariyah atau diri beliau, padahal Mariyah adalah istri beliau yang sah. Jadi, menurut hukum Allah adalah halal. Namun ada versi lain terkait dengan sebab turunnya ayat 1 itu.

Hanya saja peristiwa-peristiwa tersebut menarik jika digunakan melihat Pancasila sebagai hasil ijtihad yang dilakukan oleh para ulama. Ada naskah klasik yang berjudul “Pancasila” yang ditulis oleh seorang ulama, menurut sebagian sumber, ulama itu bernama Muhammad Joban dari Purwakarta.

Dalam naskah tersebut, dipaparkan landasan-landasan Islam yang digunakan merumuskan Pancasila. Sehingga hasilnya pun akomodatif. Sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang tidak hanya membutuhkan teks Islam, tetapi esensi Islam itu sendiri yang dibutuhkan. Mari kita renungkan!

Bagikan Artikel ini:

About Khoirul Anwar Afa

Dosen Fakultas Ushuluddin PTIQ Jakarta.

Check Also

Serat Centhini

Konsep Amalan Harian dan Zaman Huru Hara dalam Sastra Jawa

hari Senin seperti yang dilakukan Nabi Isa, malam harinya tidak makan daging sembari mengucapkan kalimat “Ya Rahman Ya Rahim” sebanyak 103 kali.

syarat dai

Membaca Sikap Pendakwah Populer yang Jumawa

muncul para pendakwah populer yang didominasi para dai yang tidak memiliki latar belakang keilmuan agama dari pesantren ataupun dari sekolah keagamaan.