Salah satu perdebatan seputar Isra’ dan Mi’raj adalah, apakah dalam peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad melihat Allah secara langsung dengan mata kepala? Bila menilainya hanya dengan akal tentu sulit menerima. Tapi bila agama hanya didasarkan pada akal maka akan rusak.
Agama adalah riwayat buka berdasar akal semata. Dalam konteks ini akal hanya pelengkap. Oleh karena, ketika berita Isra’ dan Mi’raj sampai kepada Abu Bakar, beliau berkata “Kalau yang bicara adalah Nabi Muhammad, lebih dari itu aku pasti percaya”.
Pertanyaan di atas sebenarnya telah terjadi sejak dulu. Pada era sahabat, perdebatan apakah Nabi Muhammad melihat Allah langsung dalam Mi’rajnya menjadi wacana hangat. Seperti telah maklum, ada yang percaya dan adapula sebaliknya.
Perdebatan terjadi antara Aisyah dan Ibnu Abbas. Aisyah menyatakan:
مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا – صلى الله عليه وسلم – رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ . ثُمَّ قَرَأَتْ لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya: “Siapa yang berkata padamu bahwa Muhammad melihat Tuhannya maka ia telah berdusta, lalu beliau membaca, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (HR Bukhari).
Sedangkan Ibnu Abbas dalam musnad Imam Ahmad (Juz 6: 212), menyatakan sebaliknya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه رَأَيْتُ رَبِّى تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “Aku telah melihat Tuhanku yang Maha Suci dan Maha Tinggi.” (HR Ahmad)
Untuk itu, sebagai upaya menakar kebenarannya, dalam tafsir al Khazin diterangkan, pendapat Siti Aisyah kuat secara dalil karena berdasar pada ayat. Sejatinya memang demikian. Namun kekuatan dalil Aisyah berdasarkan pemahamannya kepada ayat yang memang dikatakan oleh Allah, tidak berdasar pada perkataan Rasulullah. Bahwa Rasulullah dipanggil oleh yang memfirmankan ayat tersebut. Dan bagiNya tidak ada yang tidak bisa.
Oleh karena itu, maka sebagian ulama cenderung untuk mengikuti pendapat Ibnu Abbas. Alasannya, karena dalam kaidah pengambilan dalil, pendapat yang menetapkan suatu masalah lebih utama dan harus didahulukan dari pendapat yang meniadakannya.
Ibnu Abbas, dalam konteks ini, menyimpulkan bahwa peristiwa Nabi Muhammad melihat Allah adalah pernyataan yang tak mungkin diambil berdasarkan Ijtihad, sebab bukan ranah ijtihad karena tidak bisa dinalar dengan akal. Dengan model analisa ini, menurut para ulama, pendapat Ibnu Abbas lebih kuat. Seputar perbedaan pendapat para ulama, lebih detailnya dijelaskan dalam kitab al Syifa bita’rifi huquq al Mustafa (1;195-196).
Sementara kesimpulan ulama Ahlussunnah Waljama’ah adalah bahwa melihat Allah bukanlah hal yang mustahil. Berdasar pada firman Allah: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS Al .Qiyamah : 22,23)
Pendapat ini juga dikuatkan oleh firman Allah:
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku ” (QS Al A`raf : 134)
Kesimpulannya, menurut pendapat yang benar, Rasulullah Isra dan Mi`raj dengan jiwa dan raganya, dengan ruh jasadnya. Bukan mimpi. Sebagaimana dijelaskan oleh al Mula Ali Qari, dalam kitab Mirqatu al Mafatih syarah Misykat al Mashabih (17:73). Melihat Allah bukan sesuatu yang mustahil bila sudah dikehendakiNya.