cara pandang sempit
cara pandang sempit

Cara Pandang Agama yang Sempit Cenderung Memilih Cara Sulit

Cara pandang beragama yang sempit cenderung memilih cara sulit. Cara pandang yang dangkal biasanya gemar menyangkal. Padahal Allah tidak menjadikan dalam agama suatu kesempitan


Di tengah upaya pencegahan penyebaran virus corona atau covid-19 seperti saat ini sudah selayaknya masyarakat mematuhi anjuran pemerintah dan menjadikan ikhtiar itu sebagai gerakan bersama. Kesehatan adalah bagian kemashlahatan yang harus dijaga bersama.

Sebenarnya tidak ada alasan untuk menentang dan menyangkalnya dengan alasan tidak takut corona dan lebih memilih takut kepada Allah. Alasan inilah yang menyebabkan seseorang masih melaksanakan ibadah bersama, tanpa ada kekhawatiran.

Menjadi taat beragama tetapi dengan cara pandang beragama yang sempit sangat bertentangan dengan karakter Islam itu sendiri. Cara pandang beragama yang dangkal hanya melahirkan generasi yang gemar menyangkal.

Sebagaimana dilaporkan di salah satu masjid di Jakarta, ada tiga jamaah orang yang positif dinyatakan terpapar virus corona. Akibatnya, 150 jamaah shalat yang berinteraksi di dalam masjid harus dikarantina selama 14 hari.

Dalam kondisi seperti ini, mestinya umat Islam harus mampu menerjemahkan cara beragama yang mudah dengan meninggalkan cara pandang beragama yang sempit. Cara pandang beragama yang sempit dengan alasan ketaatan pun akan menimbulkan kondisi sulit.

Allah berfirman dalam al-Qur’an :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ.

Artinya: “…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj/22: 78).

Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh agama Islam dalam kondisi sulit adalah bagian dari cara melaksanakan pesan al-Qur’an ini. Dalam kaidah fikih muncullah rumus hukum yang berbunyi al-masyaqqah tajlibut taisir (kesulitan akan membawa kemudahan).

Kaidah ini sebenarnya ingin membuka cara pandang beragama yang lebih luas dan dinamis, bukan cara pandang yang sempit yang selalu memilih kesulitan. Allah saja tidak menjadikan kesulitan dalam berIslam.

Syariat Islam memberikan kelonggaran untuk tidak menerapkan hukum asal (‘azimah) dalam situasi dan kondisi sulit sehingga memperoleh dispensasi hukum (rukhshah). Situasi seperti wabah corona seperti saat ini adalah kondisi sulit yang menuntut tidak banyak interaksi apalagi dalam keramaian.

Karena itulah, justru bukan suatu ketaatan dengan memaksakan berjamaah dalam kondisi seperti ini. Ketaatan kepada Allah dan ajaran Rasul justru dengan mengambil cara mudah dalam kondisi sulit. Mengambil jarak dan tetap di rumah sehingga kondisi menjadi kondusif.

Apalagi kondisi sudah normal, hukum jamaah dan shalat jumat akan kembali normal. Meninggalkannya dalam kondisi sulit bukan berarti meniadakan selamanya. Inilah dalam kaidah fikih ditemukan :

اِذَا ضَاَق اْلأَمْرُ اتَّسَعَ, وَاِذَا اتَّسَعَ ضَاَق.

Artinya: “Apabila sesuatu menjadi sempit, maka menjadi luas. Dan jika sudah luas, maka kembali sempit”.

Melalui kaidah dalam situasi sulit dan tidak normal atau bahkan darurat (masyaqqah) seperti penyebaran wabah corona ini,  hukum syari’at menjadi longgar agar mudah dilakukan dan dijalankan. Namun, jika situasi sudah kondisi normal seperti sediakala, hukum asal kembali berlaku.

Karena itulah, mari beragama dengan cara pandang yang luas bukan cara pandang yang sempit yang justru mempersulit diri. Allah saja menginginkan kemudahan, kenapa umat Islam ingin mempersulit?

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

039552600 1760429711 830 556

Kemenhaj Minta Perkuat Istithaah Kesehatan, Cegah Jamaah Wafat di Pesawat

JAKARTA — Menteri Haji dan Umrah Republik Indonesia, Mochamad Irfan Yusuf terus bergerak dalam upaya mempersiapkan …

084039400 1760199435 830 556

Pesan Habib Ja’far: Manfaatkan AI Sebagai Tools, Bukan Rujukan Utama Soal Persoalan Agama

JAKARTA — Perkembangan zaman tidak bisa dinapikan oleh masyarakat, termasuk perkembangan teknologi yang mempermudah keperluan, …