WhatsApp Image 2020 04 16 at 11.33.46 1
WhatsApp Image 2020 04 16 at 11.33.46 1

Fikih Puasa (5) : Mengkaji Ulang Kebolehan Menelan Makanan Saat Adzan Subuh

Sejak awal masuk Bulan Ramadan media sosial banyak disesaki oleh konten-konten yang mempertanyakan soal istilah imsak. Tradisi imsak yang sudah lama dijalankan oleh umat Islam Indonesia mulai ‘diusik’ keabsahannya. Secara masif konten-konten tersebut menguasai media sosial, baik dalam bentuk video ataupun meme yang dikirim melalui pesan berantai dalam WhatAps Group.

Bagi mereka yang masih hijau, dengan pemahaman agama yang masih terbatas tentu dengan mudah menerima isi konten tersebut, karena dikemas lengkap dengan dalil-dalil hadist shahih. Menarik dan penting untuk dikaji ulang bukan pada persoalan istilah imsak. Jika hanya persoalan istilah tentu tidak sampai mengarah pada hal-hal yang membatalkan puasa. Namun, yang lebih urgen untuk ditanggapi terkait soal kebolehan makan makanan yang sudah ada di tangan dan di mulut meskipun telah berkumandang azan Subuh.

Lalu bagaimana sebenarnya duduk persoalan terkait dengan kasus tersebut? Benarkah orang yang hendak berpuasa masih boleh menelan makanan yang sudah di mulut meskipun sudah azan Subuh?

Secara etimologi puasa bermakna al-imsak (menahan diri). Para ahli fikih mendefinisikan puasa dengan menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa dengan cara-cara yang telah diatur oleh syariat dimulai sejak terbit fajar (masuk waktu salat Subuh) hingga matahari terbenam (masuk waktu salat Magrib).

Dari definisi tersebut dapat diketahui tentang rentang waktu pelaksanaan puasa, yakni sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Dengan demikian, semua ulama sepakat bahwa aktifitas puasa bermula sejak terbit fajar yang berarti pula awal masuk waktu salat Subuh, sebagaimana yang terdapat dalam ayat Al-Quran:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Artinya: “…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…” (QS. Al-Baqarah/2: 187).

Oleh karena itu, dengan berkumangdangnya azan Subuh aktifitas puasa telah dimulai, maka haram bagi kaum muslimin yang berpuasa melakukan aktifitas makan, minum, berjimak, dan segala hal yang membatalkan puasa. Beginilah praktik yang dijalankan oleh mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan juga para pembesar sahabat, tabiin, tabiit tabiin, dan generasi sesudahnya. (Muhammad Hasan Hitu, Fiqh al-Shiyam, 51., Syauqi ‘Allam, Kitab Shiyam, Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah, 17).

Sementara kebolehan menelan makanan dan meneguk minuman yang yang sudah berada di tangan atau di mulut saat azan didasarkan kepada hadis riwayat Abu Daud berikut ini:

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

Artinya: “Apabila salah seorang di antara kalian mendengar azan, sementara wadah makanan sudah di tangan, maka jangan letakkan wadah itu, hingga ia menunaikan hajatnya dari wadah tersebut.” (Sunan Abi Daud, No. 2352).

Sepintas lalu hadis ini menjelaskan bahwa seseorang yang mendengar azan di waktu Subuh bulan puasa, sementara di tangannya sudah ada makanan atau minuman, maka boleh dilanjutkan makan dan minum, meskipun telah terdengar azan berkumandang. Dengan demikian, seolah hadis ini bertentangan dan menabrak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan awal permulaan puasa sejak terbit fajar. Hadis ini menjadi jelas arahnya ketika disandingkan dengan hadis lain yang secara terang benderang mendudukkan persoalan pada porsinya yang tepat.

Pada zaman Nabi ada dua orang muazin yang mengumandangkan azan menjelang salat Subuh. Azan pertama dikumandangkan oleh sahabat Bilal bin Rabah, sementara azan kedua dilantunkan oleh Ibnu Umi Maktum, seorang sahabat tuna netra yang menjadi sebab turunnya surat ‘Abasa. Kaum muslimin saat itu mengira bahwa azan Bilal yang pertama merupakan tanda masuknya waktu salat Subuh. Demi menjawab dan mengantisipasi dugaan ini, Nabi pun bersabda:

إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِىَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

Artinya: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di waktu malam, maka makanlah kalian dan minumlah, hingga terdengar azannya Ibnu Umi Maktum.” (Shahih Bukhari, No. 617).

Dalam hadis lain riwayat Ibnu Mas’ud Nabi menegaskan kembali tentang tujuan azan pertama dari sahabat Bilal:

لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ ، فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ، وَيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ ، وَلَيْسَ الْفَجْرُ

Artinya: “Janganlah menjadi penghalang bagi seseorang di antara kalin suara azan Bilal untuk (terus) makan sahur, karena azan itu untuk mengingatkan orang yang salat malam (agar berhenti dan segera bersahur) dan untuk membangunkan orang yang tidur, bukan (azan) fajar.” (Shahih Bukhari, No. 7247).

Dan masih banyak hadis-hadis shahih lain yang menguatkan tentang ketidakbolehan makan dan minum saat azan Subuh (suara azan Ibnu Umi Maktum) berkumandang. Para pakar hadis menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan melanjutkan makanan dan minuman yang ada di tangan atau di mulut tertuju pada azan yang dikumandangkan oleh Bilal, bukan azan yang dilantunkan oleh Ibnu Umi Maktum sebagai petanda awal masuk waktu Subuh.

Walhasil, ketika azan Subuh berkumandang tidak boleh menelan makanan atau minuman meskipun sudah berada di mulut, harus diluapkan atau disemburkan, jika tidak maka puasa menjadi batal, hati-hatilah!.  (Ibnu Hajar al-Haitsami, Fath al-Bari li Ibn Hajar, II/422 dan VI/164., Faidl al-Bari Syarh al-Bukhari, II/382., Muhammad Hasan Hitu, Fiqh al-Shiyam, 53-54).

(Izzuddin bin Abdissalam, Maqashid al-Shaum, 18). []

Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …