Setelah satu bulan lamanya kaum muslimin menunaikan ibadah puasa dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Tibalah saatnya untuk merayakan keberhasilan mereka dalam menundukkan keinginan-keinginan hawa nafsu serta perjuangan melawan rasa lapar dan haus. Islam mensyariatkan shalat Idul Fitri sebagai bentuk perayaan rasa syukur kepada Pemilik Jiwa atas keberhasilan melaksanakan ritual latihan membersihkan jiwa untuk mencapai derajat muttaqin, orang-orang yang bertakwa.
Ibadah puasa sebagai wujud latihan menempa diri sepatutnya diakhiri dengan ritual pengukuhan atas keberhasilan sebagai bentuk rasa syukur. Atas dasar ini, sebagian ulama menyematkan Hari Raya Idul Fitri dengan label yaumus surur, hari kebahagiaan. Luapan kebahagiaan dan kegembiraan karena telah berhasil mengikuti pelatihan jiwa hingga tuntas. Sebaliknya, sebagian ulama lain menyebutnya dengan istilah yaumul hazn, hari berduka cita. Berduka dan bersedih karena khawatir terhadap apa yang telah dilaksanakan selama menempuh latihan tidak bernilai dan tidak berdampak positif bagi kehidupan selanjutnya.
Terlepas dari label yang disematkan terhadap Hari Raya Idul Fitri, shalat Idul Fitri memiliki daya tarik tersendiri di hati kaum muslimin. Di samping pelaksanaan yang hanya terjadi satu tahun sekali, bagi mereka yang telah bersusah payah melaksanakan ibadah puasa hingga tuntas, terbersit perasaan kurang sempurna jika tidak ikut berbondong-bondong meramaikan pelaksanaan shalat Idul Fitri. Lalu apa sebenarnya hukum shalat Idul Fitri?
Hukum Shalat Idul Fitri
Shalat Id, sebagaimana puasa Ramadan, disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Shalat Idul Fitri merupakan shalat Hari Raya pertama yang dilakukan Rasulullah dan tidak pernah ditinggalkan selama masa hidup beliau. Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat Id antara fardu kifayah, wajib, dan sunah muakadah.
Menurut Hanabilah shalat Id merupakan fardu kifayah. Dengan demikian, jika dalam suatu daerah sudah ada yang mendirikan, maka kewajiban menjadi gugur bagi yang lain. Namun, jika satu daerah tidak ada yang menunaikan sama sekali, maka pemerintah harus bertindak untuk memerangi mereka. Golongan ini mendasarkan pendapatnya kepada perbuatan Nabi dan para sahabat setelahnya yang tak pernah absen melaksanakan shalat Id.
Di samping itu, shalat Id menjadi syiar agama yang bersifat lahiriah, sehingga layak untuk diramaikan dan ditampakkan. Tidak melaksanakannya dianggap bermain-main dan meremehkan agama. Tetapi tidak sampai pada tingkatan fardu ain, karena fardu ain hanya terjadi pada shalat maktubah. (Abi Muhammad Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni (Riyad: Dar ‘Alam al-Kutub, Cet. II, 1986), III/253-254., Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. II, 1985), II/363).
Sedangkan menurut Hanafiyah hukumnya adalah wajib ain seperti kewajiban shalat jumat. Alasan golongan ini sama dengan Hanabilah, karena selalu dilakukan oleh Nabi secara kontinyu dan menjadi syiar Islam yang tampak. Andaikan tidak diwajibkan maka banyak kaum muslimin yang meninggalkan. Hal itu akan menyebabkan kekososngan syiar Islam. Di samping itu, shalat Id disyariatkan secara berjemaah. Tidak ada shalat sunah yang kerjakan secara berjemaah kecuali shalat tarawih dan shalat gerhana matahari. (‘Alauddin Abi Bakr bin Mas’ud al-Kasaniy, Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cet. II, 2003), II/236-237).
Sementara menurut Malikiyah dan Syafi’iyah shalat Id adalah sunah muakadah bagi orang yang berkewajiban melaksanakan shalat jumat. Hukum sunah ini berpedoman pada sebuah hadis yang menceritakan seorang Arab badui yang bertanya tentang shalat kepada Nabi. Jawaban Nabi hanya shalat lima waktu yang diwajibkan, sementara di luar itu merupakan shalat sunah. Menjadi muakadah karena tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi. (Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Hatthab, Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar al-Syekh Khalil (Muritania: Dar al-Ridwan, tt.), II/473., Syamsuddin Muhammad bin al-Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Ma’rifah, Cet. I, 1997), I/462., Muhammad Zuhaili, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. III, 2011), I/550).
Perbedaan hukum tentang shalat Id ini hanya berkisar soal penekanan perintah saja, sesuai dengan dalil yang mereka pahami melalui ijtihadnya. Namun, satu kata sepakat bahwa shalat Id diperintahkan untuk dilaksanakan dan menjadi penanda syiar agama Islam. Bagi kaum muslimin yang meninggalkan shalat Id tanpa uzur yang dibenarkan secara syariat berarti mereka telah merobohkan syiar agama dan dianggap meremehkan agama.[]
Wallahu a’lam Bisshawab!
Al-fiqh al-islamiy, II/363
Badai al-shanai, II/236
Mawahib al-jalil, II/474
Mughni al-Muhtaj, I/462
Al-Mughni Syarh muhktashar al-Kharqi, III/253
Al-mu’tamad fil fiqh, I/549