intoleransi
intoleransi

Intoleransi adalah Kegagalan Kemerdekaan dalam Beragama

Ada banyak kasus intoleransi beragama di negeri ini. Pada tanggal 16 Maret 2020 sekelompok massa yang menamakan dirinya Aliansi Benteng Aqidah (ABA) mendesak Bupati Bogor untuk melarang Ahmadiyah. 6 April 2020 Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya melaui Bakorpakem berupaya menyegel Masjid al Aqso milik jemaat Ahmadiyah di Singaparna. Kasus yang mirip terjadi pada 20 Juli 2020 pasarean sesepuh Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan di Kuningan di segel oleh Satpol PP. Tanggal 8 Agustus 2020 acara doa di Solo dibubarkan oleh sekelompok massa karena dianggap tradisi Syi’ah.

Kabar teranyar datang dari pulau Borneo, tanggal 14 Agustus 2021 lalu, terjadi penyegelan Masjid Ahmadiyah di Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang dan jajaran Forkompinda disana. Ihwal penyegelan tersebut sebagai buntut dari tuntutan Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang yang menolak keberadaan jamaah Ahmadiyah disana.

Catatan tragedi kemanusiaan ini baru sebagian saja. Hanya pada rentang dua tahun berlalu. Apabila dihitung sejak 2005 silam tentunya lebih banyak lagi kasus-kasus intoleransi serupa. Fakta ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa persoalan diskriminasi dan intoleransi menjadi penyakit akut yang tak kunjung sembuh di negara yang telah berumur 76 tahun ini?

Islam sejatinya dihadirkan dalam rupanya yang sempurna. Sebagai agama yang penyayang, pengayom, dan selalu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana dicontohkan oleh baginda Nabi di era Madinah. Disana bisa hidup rukun berbagai agama. Padahal saat itu Madinah didiami oleh masyarakat yang homogen dengan menganut agama yang berbeda-beda. Bukan dihadirkan dengan wajah yang garang. Kalaupun ada sekte Islam yang dianggap sesat bukan diusir, dipinggirkan, diusir atau disakiti, melainkan dilakukan pendekatan penyadaran.

Seperti Ahmadiyah, banyak kalangan muslim yang salah kaprah menilainya. Dan kesalahan ini telah mendarah daging. Tanpa meneliti secara teliti terlebih dahulu, buru-buru menghakimi Ahmadiyah sebagai sekte Islam yang sesat.

Padahal, seorang Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Ahmad Najib Burhani mengatakan menganggap Ahmadiyah sesat adalah salah kaprah dan hanya praduga. Hal itu ia katakan dalam sidang uji materi UU Penodaan agama di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa tahun silam.

Lebih lanjut Najib membeberkan fakta, Tadzkirah yang selama ini disangkakan sebagai kitab suci Ahmadiyah adalah asumsi belaka, di rumah-rumah dan masjid mereka yang ada adalah al Qur’an bukan Tadzkirah. Demikian juga Mirza Ghulam Ahmad dalam ajaran Ahmadiyah tidak lebih tinggi kedudukannya dari Nabi Muhammad. Sama seperti yang lain.

Hasil penelitian ini membuktikan hilangnya kesadaran sebagian umat Islam tentang pentingnya menghormati perbedaan, baik kepada agama lain maupun sesama agama Islam namun beda madhab atau aliran. Selama masih mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad sebagai utusan terakhir, tidak diperbolehkan untuk menghukuminya dengan sesat atau kafir. Begitulah Baginda Nabi Muhammad mengingatkan umat Islam.

Bila demikian, maka langkah Gus Yaqut sebagai Menag yang akan melakukan sesuatu yang bermakna bagi Ahmadiyah dan Syiah adalah solusi kongkrit untuk mengakhiri tindakan-tindakan intoleransi dan diskriminatif terhadap minoritas. Dan, ini layak kita dukung. Bahkan, bukan hanya untuk Ahmadiyah dan Syiah, tapi semua aliran maupun sekte-sekte yang lain.

Kebenaran mutlak hanya milik Allah dan Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya. Oleh karena itu, tidak boleh ada klaim kebenaran hanya milik kelompok tertentu. Boleh-boleh saja yakin dengan kebenaran iman yang diyakini, tapi tetap tidak boleh memaksakan nilai tersebut kepada orang lain.

Bagikan Artikel ini:

About Khotibul Umam

Alumni Pondok Pesantren Sidogiri

Check Also

sirah nabi

Pesan Nabi Menyambut Ramadan

Bulan Ramadan, atau di Indonesia familiar dengan sebutan Bulan Puasa, merupakan anugerah yang diberikan Allah …

imam ahmad bin hanbal

Teladan Imam Ahmad bin Hanbal; Menasehati dengan Bijak, Bukan Menginjak

Sumpah, “demi masa”, manusia berada dalam kerugian. Begitulah Allah mengingatkan dalam al Qur’an. Kecuali mereka …