nikah
nikah

Istri Membangkang, Inilah Solusi Nusyuz dalam Alquran yang Perlu Pasutri Ketahui

Dalam konteks fikih, nusyuz adalah istri yang membangkan kepada suami. Hal ini merupakan makna sederhananya dari pengertian secara bahasa yang berarti “ketinggian”.  Dari makna secara bahasa tersebut, para ulama memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud adalah ketinggian suara istri kepada suami karena meninggalkan perintah suami dan menentangnya.

Sementara menurut ulama fikih, seperti ulama Hanafiyah memberikan penjelasan bahwa nusyuzadalah ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-istri. Sementara ulama Syafi’iyah mengartikan sebagai perselisihan diantara suami-istri. Kemudian menurut ulama Hanbaliyah, diartikan sebagai ketidak-senangan dari pihak suami atau istri yang diiringi dengan komunikasi yang tidak harmonis.

Yang Termasuk Perbuatan Nusyuz

Sementara, ulama fikih, sebagaimana dikutip dalam buku Halal Tapi Dibenci Allah karya Ahmad Zacky dan Faizah Ulfah, berbeda pendapat dalam menentukan suatu perbuatan itu termasuk dalam kategori nusyuz. Ulama Malikiyah misalnya, mengatakan bahwa yang termasuk dalam perbuatan nusyuz adalah jika istri menolak ‘bersenang-senang’ dengan suami. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa termasuk nusyuz adalah bermaksiat kepada Allah dalam kewajiban yang telah Allah bebankan kepadanya.

Dalam lika-liku rumah tangga, nusyuz seringkali menimpa pasangan suami-istri, baik itu yang baru menikah atau bahkan yang usia pernikahannya sudah tua. Tentu dengan dinamika masing-masing. Namun, satu hal yang pasti, bagaimana solusi Islam atau ulama fikih dalam menyikapi persoalan ini?

Tiga Langkah yang Dapat Ditempuh

Pembangkangan terhadap suami tidak dibenarkan dalam Islam. Oleh sebab itu, ulama fikih dengan merujuk pada petunjuk Alquran dan hadis telah merumuskan tiga langkah harus ditempuh oleh seorang suami ketika istrinya tengah dalam kondisi nusyuz.

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا 

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [QS. An-Nisa’: 34].

Ayat di atas menjadi pijakan dalam merumuskan tiga langkah dalam menghadapi persoalan nusyuz. Adapun tiga langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, memberi nasihat dan bimbingan.

Petunjuk Alquran menyebutkan bahwa langkah pertama yang harus ditempuh oleh seorang suami ketika istri dalam keadaan nusyuz adalah memberikan nasihat dan bimbingan. Para suami harus senantiasa menjadi teladan dan memperlakukan ‘tulang rusuknya’ dengan elegan, tidak dikit-dikit main fisik, melainkan harus menasihanya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

Kedua, pisah ranjang (al-Hajr).

Jika memang langkah pertama belum membuahkan hasil yang maksimal, maka Alquran memerintahkan kepada para suami untuk menempuh cara kedua, yakni al-hajr (pisah ranjang). Harus disadari bahwa terkadang ada seorang istri yang tidak cukup hanya diberi nasihat dengan santun dan lembut.

Pisah ranjang bisa diartikan sebagai tidak menggauli untuk sementara waktu. Menurut Ikrimah dan As-Sudi mengatakan bahwa bersamaan dengan itu ia mendiamkan dan tidak mengajak bicara istrinya. Hal ini dimaksudkan agar istri instropeksi diri dan mau berbenah.

Terakhir, ‘memukul’.

Dalam konteks tertentu, tindakan sedikit keras diperlukan seperlunya. Artinya, pukulan adalah alternatif paling akhir dan ini pun ditempuh dengan penuh kasih sayang—tidak ada niatan dendam atau benci, namun semata-mata untuk memberikan pelajaran kepada istri.

Menurut Syaikh Hafidz Ali Syausyi (2010: 154) memukul itu bukan berarti menodai kebebesan istri, tetapi sebagai langkah terapi darurat. Memang, langkah ketiga ini menuai perbedaan. Artinya, ada yang tidak setuju dengan alasan termasuk kekerasan dalam rumah tangga karena menyangkut masalah fisik.

Sementara bagi yang tidak setuju, langkah ketika dimaknai sebagai ‘memeluk’. Jadi, memukul disini dimaknai sebagai memeluk istri. Cara ini dipandang lebih elegan dan solutif. Atau sebagaimana pendapat Hasan al-bashri, bahwa pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang tidak membekas, pun tidak membelah daging (kulit).

Lalu, jika ketiga langkah di atas masih menemui jalan buntu, apakah ada langkah lain? Tentunya ada, yakni menyerahkan semua itu kepada hakim. Hakim ini nantinya yang akan mengirimkan hakam atau penengah dari kedua belah pihak. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 35.

Bagikan Artikel ini:

About faedurrohman M.Pd.I

Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Bahasa Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, aktif bergerak di bidang dakwah kultural dan struktural.

Check Also

cinta dalam islam

Islam Itu Damai [2]: Deklarasi Perdamaian dalam Islam

Di satu sisi, ketika kita melihat perkembangan dunia Islam dewasa ini akan menimbulkan rasa optimistis …

cinta dalam islam

Islam Itu Damai [1]: Mengurai Kata ‘Islam’ dalam Alquran

Sampai hari ini masih banyak orang maupun kelompok yang menjadikan Alquran dan hadis sebagai legitimasi …