keajaiban shadaqah
keajaiban shadaqah

Keajaiban Shadaqah : Belajar dari Pasangan Mulia, Ali dan Fatimah

Kisah ini bertutur tentang keajaiban shadaqah yang dilakukan dengan penuh keimanan oleh pasangan mulia Ali dan Fatimah.


Lumrahnya, seorang putri Pemimpin agung, mestinya hidupnya terlayani dan mewah. Namun apa yang dijalani ole Siti Fatimah al-Zahrah, sungguh di luar kewajaran dan kebiasan.

Fatimah adalah putri Rasulullah, seorang putri nabi dan Rasul serta putri seorang Pemimpin agung kala itu. Namun kehidupannya yang seharusnya dijalani dengan serba kemewahan, dijalani dengan serba kesederhanaan, bahkan dibawah standart sederhana, bisa dikatakan serba kekurangan.

Hal ini terbukti, Fatimah yang terkadang menerima orderan mengantih bulu domba untuk dijadikan kain wol (shuf) dari shahabat. Pernah suatu ketika, Beliau menerima order mengantih bulu domba pesanan Salman al-Farisi dengan upah enam dirham.

Di saat yang bersamaan, Ali Ibn Abi Thalib, suaminya, bertanya kepada Fatimah: “ wahai perempuan mulia, adakah sesuatu yang bisa kau berikan untuk suamimu ini untuk disantap?” Tanya Ali kepada Fatimah.

“Demi Allah, aku tak memiliki sesuatu apapun untuk aku berikan kepadamu sebagai santapan, hanya enam dirham ini yang aku punya, itupun ingin aku pergunakan untuk membeli roti untuk Hasan dan Husen, Putra kita”. Jawab Fatimah dengan nada agak berat.

“ biarlah aku yang ke pasar untuk membeli Roti. Pinta Ali. Lalu Fatimah menyerahkan Uang enam dirham tersebut kepada Ali.

Berangkatlah Ali Ibn Abi Thalib ke pasar dengan harapan bisa dengan cepat kembali ke rumah membawa roti untuk Hasan dan Husein. Namun di tengah perjalanan menuju pasar, Ali menjumpai seorang laki-laki tua berdiri tegak dan gagah. Tak tampak ia berusia lanjut.

Dari mulutnya terdengar ia sedang membaca kalimat-kalimat Al-Quran dalam ayat 245 surat al-Baqarah :

من ذاالذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له اضعافا كثيرة والله يقبض ويبسط واليه ترجعون

Artinya: Barang siapa yang memberi hutangan kepada Allah dengan hutangan yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (pelunasannya) dengan lipat ganda yang banyak. Allahlah yang bisa menyempitkan dan melapangkan rizqi dan kepada-Nyalah akan dikembalikan.

Tertegun Ali melihat dan mendengar kalimat suci yang terlontar dari laki-laki tua itu. Dan tanpa berpikir panjang lagi uang enam dirham yang akan digunakan untuk membeli roti itupun langsung dikasihkan kepada laki-laki tua itu.

Karena uang enam dirham itu sudah dishadaqahkan kepada laki-laki tua itu, Alipun memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampainya di Rumah, Fatimah melihatnya lesu dan tak membawa sepotong rotipun.

Hatinya pun sedih, tak sadar ada buliran air mata menetes di pipinya. Ali melihat dengan jelas air mata itu dan paham bahwa istrinya sedang merasakan kesedihan, karena melihat dirinya tak membawa sepotong roti.

Untuk menyakinkan firasatnya, Ali memberanikan diri bertanya: Apa gerangan yang membuatmu bersedih? Tanya Ali. Kenapa kau tak membawa sepotong rotipun?! Jawab sekaligus tanya Fatimah.

“Uang yang enam dirham itu aku hutangkan kepada Allah”, kata Ali. Lalu apa respon istri mulia itu. “Kalau begitu aku setuju dengan tindakanmu”, jawab Fatimah di luar dugaan.

Beberapa saat kemudian, Ali pamit keluar rumah hendak menemui Rasulullah. Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba Ali berpapasan dengan seorang a’rabi (penduduk kampung) yang sedang menuntun seekor Unta.

“Wahai Ali, Abul Hasan, belilah untaku ini” cakap a’rabi mencoba menawarkan untanya. “Aku tak punya uang untuk membelinya”, jawab Ali menolak tawaran itu.

“Aku akan menjual unta ini kepadamu dengan kredit-bertempo’ A’rabi memberi tawaran. “Berapa akan kau jual unta ini kepadaku?”, Ali penasaran. “Saya jual unta ini dengan harga 100 dirham kredit-bertempo”. “Kalau begitu aku akan membelinya” Ali mengakhiri percakapannya.

A’rabi itupun berlalu tanpa basa basi. Di saat saat hendak melanjutkan perjalanan menemui Rasulullah tiba-tiba saja seorang ‘arabi lain menemuinya. Betapa bagusnya untamu ini wahai Abal Hasan wal Husen?! Sapa A’rabi mengawali percakapan.

“Apakah kau berniat untuk menjual untamu”, a’rabi melanjutkan percakapan. “Ya, kata Ali menanggapinya”. Berapa akan kau jual unta ini ? aku jual unta ini dengan harga 300 dirham, tanpa melalui proses tawar-menawar yang alot. Transaksi jual belipun berlangsung. A’rabi itu membayar cash 300 dirham. Alipun menyerahkan unta itu kepa A’rabi dan A’rabi itupun berlalu.

Merasa mendapat keuntungan yang tak wajar, bermodal beli 100 dirham laku terjual 300 dirham laba jual 200 dirham. Ali pulang ke rumahnya. Dan di ambang pintu langsung disambut mesra oleh Fatimah.

Tanpa basa-basi Ali menyerahkan 200 dirham kepada Fatimah. Jelas terlihat sungging senyum bahagia di wajahnya. “Dari mana kau dapatkan uang sebanyak ini ?” tanya Fatimah.  

Berceritalah Ali seperti cerita di atas. Sambil manggut-manggut Fatimah membenarkan tindakan Ali. Tak lama kemudian Alipun berpamitan menemui Rasulullah. Dan anehnya, Rasulullah sudah menunggu kedatangannya.

“Apakah kamu tahu A’rabi yang menjual untanya dengan harga 100 dirham kredit bertempo, dan A’rabi yang membeli unta dengan harga 300 dirham cash?! tanya rasul.

“Tidak, Ya Rasulullah, Allah dan Rasulnya yang lebih mengetahuinya, jawab Ali penuh kesantunan. “Ali kau telah memberi hutangan kepada allah 6 dirham dan Allah melunasinya dengan 300 dirham dengan hitungan setiap dirham yang kau hutangkan kepada Allah dibayar lunas dengan 5 dirham,” tutur Rasulullah.

Rasul pun melanjutkan: “ketahuilah A’rabi yang menjual dengan 100 kredit itu sebenarnya adalah Malaikat Jibril, sementara A’rabi yang membeli dengan 300 dirham itu adalah Malaikat Isrofil (dalam riwayat lain : Malaikat Mikail). Kisah ini disadur dari kitab al-Mawaidh al-Ushfuriyyah, karya Syekh Muhammad Abu Bakar al-Ushfuriy, hal 10.

Dari kisah yang mulia dari pasangan yang mulia ini kita dapat mengambil hikmah luar biasa. bershadaqah untuk membantu mereka yang membutuhkan memang membutuhkan keikhlasan. Namun, yang terpenting dalam shadaqah membutuhkan keimanan.

Keimanan dilandasi suatu keyakinan. Lihatlah betapa teguh keimanan Ali ketika mendengar ayat 245 surat al-Baqarah yang dilantunkan laki-laki di pasar itu. Keimanan itu tertanam dari hati mengalir melalui tindakan yang mulia berbentuk shadaqah.  

Bershadaqah memang butuh keimanan. Seseorang yang ‘iman’ akan ringan tangan untuk bershadaqah, namun seseorang yang ‘eman’ akan berat tangan untuk bershadaqah. Yang iman akan mendapatkan kenyamanan tetapi yang eman akan mendapatkan ancaman.

Wallahu a’lam

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …