perang uhud
strategi perang Nabi

Kembali Mengingatkan, Jihad dengan Perang Bukanlah Wajib Maqashid

Secara beruntun di awal tahun 2021, Indonesia sudah terjadi banyak peristiwa bencana alam. Mulai dari gempa di Sulawesi Barat, banjir di beberapa daerah, yang terparah ada di Kalimantan Selatan, dan peristiwa kecelakaan pesawat Sriwijaya di Kepulauan Seribu. Peristiwa-peristiwa besar tersebut menambah duka bangsa Indonesia yang telah kehilangan belasan ulama’ dan dai yang wafat di bulan Januari ini.

Hal-hal di atas seharusnya membuat kita semua berintrospeksi diri mengenai solidaritas, persatuan antar warga negara, cara bertingkah laku dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang muslim, apakah sudah sesuai syariat Islam atau belum. Karena ini penting dilakukan supaya semua yang kita lakukan diridlai Allah SWT.

Dalam tulisan ini, kita semua akan diajak untuk berintrospeksi atau mengingat kembali makna jihad sebenarnya. Apakah jihad hanya dimaknai sebagai perang saja atau jihad dengan perang sebenarnya bukan kewajiban yang dimaksud oleh syariat?

Nah tulisan ini akan secara sederhana dan ringkas akan memaparkannya. Persoalan ini harus jelas dan cepat terselesaikan. Supaya setelah bencana pandemic dan bencana alam selesai, seluruh warga Indonesia harus menyongsong kehidupan ke depan dengan tidak membawa kesalahpahaman lagi mengenai ini. Karena jika tidak, maka bencana ‘kebodohan’ akan terus mengintai. Dan Indonesia tidak akan bisa hidup damai dan sejahtera dalam persatuan.

Jihad perang bukanlah wajib maqashid

Dari dulu, sebagian kecil kelompok dalam Islam yang tergolong garis keras tidak benar-benar paham mengenai makna kata jihad. Apalagi jika kata jihad dikaitkan dengan iming-iming agar mati syahid. Hal ini berarti kelompok-kelompok garis keras telah menyempitkan makna kata jihad dengan arti berperang saja. Slogannya ‘hidup mulia atau mati syahid’.

Lebih parahnya lagi, mereka melakukan aksi jihad dengan perang tidak menggunakan cara-cara nabi Muhammad SAW dan Khulafa ar-Rasyidin. Sejauh aktivitas ‘jihad’ dengan perang yang mereka lakukan hanya membuat onar, mengebom tempat-tempat umum, merampas harta warga sipil, yang semuanya bertujuan untuk mengkudeta pemerintahan di suatu negara yang sah. Artinya mereka bukan melaksanakan jihad dengan berperang seperti apa yang disunnahkan nabi SAW. Tetapi mereka sebenarnya telah melakukan aksi terorisme.

Jika konteksnya Indonesia, Jihad bil qital (jihad dengan perang) itu bisa dipraktikkan sekarang. Indonesia masih tergolong dârus salâm (negara yang aman), bukan dârul qitâl (medan perang). Contoh Indonesia tergolong dârul qitâl yakni pada saat agresi militer Belanda (yang dibantu Sekutu) 1 dan 2, yang salah satu pertempuran hebatnya ada di Surabaya.

Kala itu Indonesia sudah merdeka, namun Belanda masih tetap memerangi Indonesia. Maka wajib hukumnya untuk membela kedaulatan, caranya yakni jihad dengan perang. Salah satu perintah jihad yang fenomenalnya yakni ‘Resolusi Jihad’ yang diserukan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Nah setelah itu sampai sekarang, belum ada kondisi yang mewajibkan secara syariat untuk jihad dengan perang seperti peristiwa di atas. Lagi-lagi kita bisa pastikan aksi-aksi mengatasnamakan jihad yang dilakukan kelompok-kelompok garis keras itu termasuk aksi terorisme.

Merujuk kaidahnya, substansi dari jihad sesungguhnya bukan berperang. Berperang cuma akan menjadi jalan paling akhir untuk ditempuh. Seperti dahulu, dalam melakukan ekspedisi penyebaran Islam ke negeri-negeri di sekitar jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW dan masa Khulafa ar-Rasyidin tidak sembarangan dalam menyerang “musuh-musuhnya.” Terlebih dulu menempuh jalur diplomasi dengan cara berkirim surat yang isinya diberi tawaran untuk masuk Islam atau membayar pajak.

 Syaikh Bakri Syatha, dalam kitabnya I’ânah Al-Thâlibîn, mengutip keterangan Syaikh Khâtib Al-Syirbiny, beliau menuliskan, bahwa “Kewajiban berjihad sebenarnya hanya sebatas wajib wasâil (kewajiban yang bersifat perantara) menuju maksud dan tujuan tertentu. Wajib maqâshid (kewajiban yang bersifat inti/ substansi) berjihad sesungguhnya ialah sebagai media menyampaikan hidayah.” supaya orang-orang non muslim mau mengenal Islam dengan benar dan pada akhirnya mereka dengan sukarela masuk Islam.

Dalam keterangan berikutnya tertulis “Juga ada beberapa tujuan inti lain, seperti bisa meninggal dunia sebagai syuhada. Sedangkan membunuh orang-orang kafirnya, itu bukanlah menjadi tujuan utama. Sehingga jikalau saja memungkinkan memberikan hidayah dengan menegakkan dalil-dalil agama, maka hal itu akan lebih baik.” Artinya, di zaman modern semacam ini, sudah tidak relevan lagi jihad dengan perang. Untuk lebih mashlahatnya, ditempuh dengan pendekatan lain, seperti syiar dan dakwah.

Jihad dengan perang yang benar

Jika melihat cerita masa lalu dalam sejarah khazanah Islam, maka kelompok Islam garis keras bisa dikatakan telah mengubah secara radikal haluan metode jihad dengan perang. Mereka telah melakukan aksi dengan mengatasnamakan jihad dengan sembaranagn. Betapa tidak, serangan mereka tak lagi menyasar tempat-tempat, atau wilayah  yang dipandang sebagai markas musuh yang bersenjata. Baik aparat negara, instansi-instansi, simbol-simbol, bahkan warga sipil tak luput dari serangan membabi butanya mereka.

Padahal, Islam tidak pernah menarget warga sipil dalam ekspedisi militernya dulu. Tentara muslim dalam jihad dengan perangnya cuma akan menyerang pasukan bersenjata dan pasukan-pasukan musuh yang melawan. Lalu setelah kekuatan militer musuh dapat dikalahkan, pasukan muslim tidak lantas membunuh warga sipil yang non muslim yang tersisa. Malah pasukan muslim menegakkan dan membangun kembali perdamaian di daerah yang ditaklukkannya.

Coba kita lihat, setelah nabi Muhammad SAW, Khulafa ar-Rasyidin dan terakhir Sultan Muhammad Al-Fatih, beliau-beliau walaupun berhasil meruntuhkan tembok kota yang dijaga musuh dan mengalahkan tentara musuh, tak lantas menyerang warga sipil non muslim. Bahkan meruntuhkan gereja-gereja merekapun tidak. Mereka dibebaskan untuk memeluk agama mereka, dan umat Islam mampu hidup berdampingan dengan yang non muslim dengan tenang.

Nabi Muhammmad SAW sendiri pernah berpesan kepada sahabat Umar RA. yang kala itu belum menjadi khalifah, jika nanti Islam sampai ke Mesir dibawah kekuasaannya, maka biarkan dan jangan ganggu penduduk Kristen Koptik yang tinggal di sana. Umat Islam berprinsip yang tertulis dalam kaidah fikih yang berbunyi,

الضرر يزال

Kemadharatan harus dihilangkan”

Yang juga bermuara dari hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi,

لا ضرر ولا ضرار

Tidak dibenarkan menyakiti diri dan membahayakan orang lain”

Bagikan Artikel ini:

About M. Alfiyan Dzulfikar

Check Also

ilustrasi masjid tempat ibadah umat

Bersemangatlah dalam Beribadah (2): Cara Menghindari Kemalasan

Dalam tulisan sebelumnya, sudah dijelaskan betapa Allah SWT menganugerahkan kemurahan dan kemudahan kepada kita untuk …

ibadah

Bersemangatlah Dalam Beribadah (1): Tiada Kesukaran dalam Agama

Allah memerintahkan kita beribadah, pastilah itu bermanfaat dan baik untuk kita sendiri. Tak mungkin ada …