Dalam kitab Hilyah al-Auliya’ karya Abu Nu’aim al-Isfahani disebutkan sebuah riwayat dari al-Rabi’ bin Sulaiman, murid Imam al-Syafi’i yang bercerita perihal seorang lelaki yang datang dari Balkh, Afghanistan, untuk bertanya tentang iman pada sang imam. Imam al-Syafi’i menjawab pertanyaannya dengan balik bertanya:
“Menurutmu sendiri, apa itu iman?”
“Menurut saya iman itu adalah perkataan (qaul).” Jawabnya.
“Apa dasar kamu mengatakan demikian?” tanya sang imam.
“Firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang berbunyi: إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات (Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh…). Atas dasar itu, maka iman adalah perkataan sedangkan amal adalah syariat turunannya. Sebab huruf و (wawu) di antara kata آمنوا dan عملوا berfungsi sebagai washl (pemisah).” Jawab lelaki tersebut sok berdalil.
“Oh, jadi fungsi wawu dalam ayat tersebut menurutmu sebagai pemisah gitu? Tanya imam al-Syafi’i.
“Tentu.” Jawabnya mantap.
“Kalau benar begitu, berarti kamu menyembah dua tuhan, satu tuhan yang di timur dan satunya lagi tuhan yang di barat. Sebab Allah SAW berfirman: رب المشرقين ورب المغربين (Tuhan {yang memelihara} dua timur dan Tuhan (yang memelihara) dua barat).”
Mendengar jawaban cerdas imam al-Syafi’i, lelaki itu pun marah, lalu berkata, “Subhanallah! Apakah Anda menganggap saya penyembah berhala?”
“Justru kamu sendiri yang mengatakan demikian.” Jawab imam al-Syafi’i.
“Bagaimana mungkin?” Lelaki itu mulai bingung sendiri.
“Tentu saja mungkin. Karena kamu sudah menganggap wawu itu sebagai pemisah.”
Lelaki itu pun lalu menyadari di mana letak kesalahannya. “Astaghfirullah, saya bertaubat atas apa yang sudah saya katakana. Saya juga tak menyembah selain pada satu Tuhan. Setelah ini, saya tak akan pernah mengatakan bahwa wawu itu berfungsi sebagai pemisah dan saya akan mengatakan bahwa iman adalah perkataan sekaligus perbuatan yang bisa bertambah atau berkurang (naik-turun).”
Menurut al-Rabi’ bin Sulaiman, lelaki itu langsung memborong karya-karya Imam al-Syafi’i dengan harta bendanya yang ia punya. Lelaki itu pulang meninggalkan Mesir dalam keadaan bermazhab sunni, ikut mazhab al-Syafi’i. Tentu itu semua terjadi karena kecerdasan sang imam sehingga membuat lelaki dari Balkh tersebut sangat terpukau pada kedalaman ilmunya.