Ulama dari masa ke masa, dalam merumuskan materi-materi apa saja yang pantas masuk ke dalam kategori Tauhid tidak sama dengan merumuskan hukum Fiqh. Sebab Tauhid masalah keimanan, jika tergelincir sedikit, maka berakibat fatal secara total. Bukan lagi berbicara haram, tetapi jatuh ke dalam jurang kekafiran. Sebab itulah ulama sangat berhati-hati dalam menentukan materi-materi Tauhid, serta sangat ketat terhadap dalil yang layak dijadikan pedoman materi tersebut.
Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Imam Abu Manstur al Maturidi, yang merupakan tokoh perumus aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, hanya berani membahas 50 aqaid sebagai materi Tauhid.
50 aqaid ini merupakan penjabaran dari Syahadatain yang harus tertanam dalam jiwa-jiwa setiap muslim. Jika diperinci, 50 aqaid ini mencakup:
1. 20 sifat wajib bagi Allah swt
2. 20 sifat muhal bagi Allah swt
3. 1 sifat jaiz bagi Allah swt
4. 4 sifat wajib bagi Rasulullah
5. 4 sifat muhal bagi Rasulullah
6. 1 sifat jaiz bagi Rasulullah
Jadi 50 aqaid ini bukan pembagian Tauhid, tetapi penjelasan makna “Lailahaillallah, muhammadurrasulullah”, yang merupakan intisari dari Tauhid. Jadi sebenarnya Tauhid adalah mengimani kedua kalimat tersebut, bukan justru merusak makna kalimat itu.
Nabi Muhammad saw bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Artinya: “Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Nabi Muhammad utusan Allah” (HR. Bukhari dan lainnya)
Jika demikian, bagaimana hukum membagi Tauhid kepada tiga macam ?
Sejak masa Rasulullah saw, para sahabat, sampai masa tabi’in, tidak ada seorang pun yang membagi Tauhid menjadi tiga bagian. Karena mereka sudah sangat paham bahwa jika dzat yang disembah adalah dzat penguasa alam semesta. Jadi tidak perlu membagi-bagi lagi kepada Uluhiyah atau pun Rububiyah. Pembagian Tauhid menjadi tiga bagian baru muncul ada abad ke 17 Hijriyah yang dibawa oleh ahlul bid’ah dari daerah al Harran, namanya Ahmad Ibn Taimiyah. Dia lah yang pertama kali membawa ajaran tri Tauhid ini.
Sebab itu, banyak ulama mengomentari terhadap pembagian Tauhid ini yang sama sekali tidak pernah dikenal di masa Islam awal. Diantaranya adalah al Allamah Abul Mahasin Jamaluddin Yusuf bin Ahmad al Dijwi al Maliki, setelah panjang lebar mempersoalkan pembagian Tauhid kepada tiga ini, ia berkata: “Pembagian Tauhid kepada Rububiyah dan Uluhiyah merupakan pembagian yang tidak pernah dikenal sebelum Ibn Taimiyah. Pembagian ini sangat tidak masuk akal”[1]
Syeikh Umar Abdul Jabbar, secara terperinci menyebutkan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat dalam pembagian tauhid Uluhiyah dan Rububiyah. Kekeliruan tersebut diantaranya:
1. Mengkhususkan “Rabb” pada makna sebagai pencipta saja, tidak mengandung makna “disembah”. Padahal sejak pada masa Nabi Muhammad saw hingga masa sebelum munculnya ahlul bid’ah Ibn Taimiyah, tidak ada yang memisah makna Rabb sebagai pencipta dan sesembahan.
2. Penggunaan kata “uluhiyah”. Seharusnya bukan uluhiyah, tetapi ilahiyah, sebab makna uluhiyah artinya perbuatan ibadah, seperti melakukan shalat, puasa dan zakat.
3. Mengklaim bahwa Rububiyah tujuan tersendiri yang terpisah dari ilahiyah, dimana dapat menyebabkan adanya kesyirikan dalam Tauhid Rububiyah.
4. Orang yang membagi Tauhid kepada Rububiyah dan Uluhiyah ini berpendapat bahwa orang-orang Jahiliyah beriman kepada Allah swt dalam aspek Rububiyahnya saja. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah Nabi saw yang mengatakan secara tegas bahwa orang-orang kafir Jahiliyah sama sekali tidak beriman kepada Allah swt, baik sebagai dzat yang disembah atau yang memberi manfaat dan mudharat.
5. Pembagian Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wassifat hanya dijadikan pedoman dirinya untuk mencela umat Islam lainnya serta mengkafir-kafirkannya[2].
Dari kritikan-kritikan banyak ulama, dan memandang aspek-aspek negatif dari pembagian Tauhid kepada Uluhiyah, Rububiyah dan Asma’ wassifat, maka Syaikh Dr. Alawi bin Hamid ibn Syihabuddin memandang pembagian Tauhid sebagaimana konsep Salafi Wahabi; “Pembagian Tauhid Uluhiyah, Rububiyah dan Asma’ Wassifat termasuk bid’ah dhalalah karena bertentangan dengan al Qur’an, Sunnah dan ijma”[3]
Wallahua’lam
[1] Abu al Mahasin bin Ahmad al Dijwi, Naqd Taqsim al Tauhid ila Uluhiyah wa Rububiyah, hal 1-2
[2] Umar bin Abdul Jabbar, al Inshaf Fima Atsari Hawlih al Khilaf, Hal 254
[3] Dr. Alawi bin Hamid Ibn Syihabuddin, Intabaha Dinuka Fi Khathar, Hal 12
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah