qunut nazilah
qunut nazilah

Malapetaka Virus Corona dan Pentingnya Qunut Nazilah, Ini Tata Caranya

Para ulama sepakat bahwa qunut sunnah dibaca dan diamalkan saat kaum muslimin tertimpa bencana dan malapetaka. Qunut dalam situasi genting ini dikenal dengan istilah qunut nazilah.  


Sejak diumumkan oleh Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia tidak lagi bebas dari penyebaran virus corona masyarakat timbul kecemasan bahkan kepanikan massal. Virus corona telah menjadi momok menakutkan dan malapetaka mematikan yang menghantui semua masyarakat.

Masyarakat telah dihimbau untuk tenang tetapi waspada dengan tetap menjaga imunitas kesehatan. Dan terpenting adalah membaca doa. Salah satu doa dalam Islam yang penting diketahui ketika umat Islam tertimpa musibah dan malapetaka mewabah seperti virus corona ini adalah qunut nazilah.

Para ulama sepakat bahwa qunut sunnah dibaca dan diamalkan pada saat kaum muslimin tertimpa bencana dan menghadapi mala petaka. Sebaliknya, ketika petaka sudah sirna maka membaca qunut tidak disunnahkan lagi. Qunut dalam situasi genting inilah yang kemudian dikenal dengan istilah qunut nazilah yang berarti ‘qunut musibah, bencana, atau petaka.’ 

Definisi dan Sejarah Qunut Nazilah

Secara etimologi menurut Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha Qunut adalah berdoa untuk kebaikan atau kejelekan. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin, Juz 1, hal. 158). Sementara menurut Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi bermakna pujian (al-tsana’). (Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khtib, Juz 4, hal. 336).

Sedangkan secara terminologi syar’i Qunut adalah bacaan zikir tertentu yang mengandung doa dan pujian, seperti ungkapan allahumma ighfirli ya ghafur (Ya Allah, ampunilah aku wahai Dzat Yang Maha Pengampun). Jika tidak mengandung dua unsur doa dan pujian, maka tidak bisa dinamakan Qunut.

Membaca qunut dalam shalat masih diperselisihkan di kalangan ulama’. Secara global qunut dapat dikategorikan ke dalam dua bahasan. Pertama, qunut khusus shalat Subuh dan shalat witir (lebih detail akan dibahas pada artikel berikutnya). Kedua, qunut yang terkait dengan mala petaka dan bahaya atau dalam situasi genting atau disebut dengan qunut nazilah.

Qunut nazilah pertama kali dipraktikkan oleh Rasulullah pada saat beliau mendengar laporan dua tragedi Ar-Raji dan Bir Ma’unah. Dalam dua tragedi tersebut, para sahabat yang diutus oleh beliau untuk mengajarkan Islam kepada Suku ‘Adhal dan al-Qarahs, serta penduduk Nejd dibantai, sehingga Rasullah sangat sedih dan tepukul.

Kejadian itu merupakan musibah dan petaka bagi kaum muslimin. Atas terjadinya peristiwa tersebut Rasulullah membaca qunut selama satu bulan. Oleh karena itu, menurut para ulama’ qunut nazilah sangat dianjurkan saat terjadi musibah, bencana, atau mala petaka seperti serangan musuh, situasi kekeringan, musim paceklik, serangan wabah/epidemi yang mengancam jiwa kaum muslimin. Bahkan, wabah termasuk petaka paling dahsyat seperti virus corona.

Qunut Nazilah dalam Shalat Wajib

Menyikapi pelaksanaan qunut nazilah dalam shalat maktubah (shalat wajib yang lima waktu) ulama’ berbeda pendapat. Menurut Hanafiyah Qunut Nazilah hanya dilaksanakan dalam shalat jahriyah (shalat yang nyaring bacaan fatihahnya), yaitu Maghrib, Isya’, dan Subuh. Praktiknya dilakukan setelah rukuk, tepatnya setelah berdiri tegak (i’tidal). Jika dilakukan dalam shalat bejemaah dan imam membacakan dengan suara nyaring, maka bagi makmum cukup mengucapkan kata “amin”. Tetapi, jika imam membaca secara pelan, maka makmum ikut membaca doa Qunut.

Doa Qunut yang digunakan oleh golongan Hanafiyah adalah riwayat Ibn Umar yang diawali kalimat, allahumma inna nasta’inuka. Namun mereka juga bependapat lebih utama menggabung doa Qunut yang diajarkan Rasulullah kepada cucunya Hasan yang dimulai dengan bacaan, allahumma ihdini fiman hadait.

Sedangkan mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa Qunut Nazilah dapat dilaksanakan dalam shalat maktubah, dan shalat Jum’at hanya menurut Syafiiyah. Sementara menurut Hanabilah Qunut Nazilah dalam shalat Jum’at tidak disunnahkan, karena dicukupkan doa dalam khutbah. Praktiknya sama dengan mazhab Hanafiyah, yaitu setelah rukuk. Jika dilakukan dalam shalat berjemaah sunnah bagi imam membaca doa Qunut dengan suara lantang (jahr) walaupun dalam shalat sirriyah (shalat yang bacaan fatihahnya dibaca samar), yakni shalat Zuhur dan Asar, dan bagi makmum cukup mengucapkan “amin” dengan suara nyaring.

Doa Qunut yang dipilih mazhab Syafiiyah adalah doa yang diajarkan kepada Hasan dengan awal kalimat, allahumma ihdini fiman hadait. Boleh juga ditambah dengan doa Qunut Umar bin Khatthab yang diawali kalimat, allahumma inna nasta’inuka. Menurut Ibn Hajar al-Haitami dalam Qunut Nazilah sebaiknya diakhiri dengan doa memohon perlindungan dari bencana yang terjadi dan mohon segera dihilangkan, setelah membaca doa yang masyhur.

Telepas dari perbedaan di atas, semua ulama’ sepakat disunnahkan mengangkat tangan pada saat doa Qunut dibaca, tetapi tidak dianjurkan mengusap muka setelah selesai berdoa sebagaimana anjuran di luar shalat.

Sebenarnya tidak ada ketentuan doa yang harus dibaca dalam Qunut. Segala bentuk doa boleh dibaca, semisal ayat-ayat yang mengandung doa, seperti ayat terakhir dari surat Al-Baqarah, atau doa sapu jagat. Bahkan menurut Abu Laits bin Sa’ad orang yang belum mampu menghafal doa Qunut dan doa sapu jagat cukup membaca doa, rabbighfirli (Ya Tuhanku, ampunilah aku!) sebanyak tiga kali. Akan tetapi, yang paling afdal dan sempurna adalah membaca doa yang sudah masyhur dari Rasulullah dan Umar bin Khatthab.

Bacaan doa dalam Qunut Nazilah

اَللّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلَا يُقْضى عَلَيْكَ، وَإِنَّه لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَاركَتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ اْلحَمْدُ عَلى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ، وَصَلّى اللهُ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلى آلِه وَصَحْبِه وَسَلَّمَ.

Artinya: “Ya Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah aku kesehatan sebagaimana orang yang telah Engkau beri kesehatan. Berilah aku kekuasaan sebagaimana orang yang telah Engkau beri kekuasaan. Berilah aku keberkahan pada segala apa yang Engkau berikan. Peliharalah aku dari kejelekan sesuatu yang telah Engkau pastikan. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang memastikan sesuatu dan tidak ada yang dapat memastikan Engkau. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau beri kekuasaan. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Ya Allah lagi Maha Luhur. Maka segala puji bagi-Mu atas sesuatu yang telah Engkau pastikan. Aku mohon ampun dan bertaubat pada Engkau. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam kepada junjungan kami, Nabi Muhammad yang ummi dan atas keluarga beserta sahabatnya.

Bacaan doa yang diriwayatkan dari Umar bin Khatthab

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَهْدِيْكَ ونَسْتَغْفِرُكَ ونَتُوبُ إِلَيْكَ وَنُؤْمِنُ بِكَ ونَتَوَكَّلُ عَلَيْكَ ونَثْنِي عَلَيْكَ الخَيْرَ كُلَّهُ ونَشْكُرُكَ ولاَ نَكْفُرُكَ وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ وإلَيْكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ وإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ نَرْجُو رَحْمَتَكَ ونَخْشَى عَذَابَكَ إنَّ عَذَابَكَ الجِدُّ بالكُفَّارِ مُلْحِقٌ.

Artinya: “Tuhan kami, kami memohon bantuan-Mu, mengharap petunjuk-Mu, meminta ampunan-Mu, bertaubat kepada-Mu, beriman kepada-Mu, bertawakkal kepada-Mu, memuji-Mu bersyukur dan tidak mengingkari atas semua kebaikan-Mu, dan kami menarik diri serta meninggalkan mereka yang mendurhakai-Mu. Tuhan kami, hanya kepada-Mu kami menyembah, hanya kepada-Mu kami hadapkan shalat ini dan bersujud, hanya kepada-Mu kami berjalan dan berlari. Kami mengharap rahmat-Mu, kami takut pada siksa-Mu, karena siksa-Mu yang keras itu akan menimpa orang-orang kafir.

Dengan ancaman musibah penyebaran virus corona yang mengkhawatirkan ini sudah sepatutnya kita umat Islam juga memohon perlindungan kepada Allah.

Referensi:

Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Juz II, hal. 172.

An-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, Juz II, hal. 481.

Abi Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-Adhim, ‘Aun al-Ma’bud ‘ala Syarh Sunan Abi Daud, Juz III, hal. 378.

Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha al-Dimyathi, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, Juz 1, hal. 158

Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khtib, Juz 4, hal. 336

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …